Ayah Bundaku, Mengapa Kita Memerlukan Nabi Muhammad?

akhlak-nabi-muhammad-sawAyah dan Bunda, di tengah kesibukan yang membuat kita semakin sulit menyelami hati kita sendiri, berapa persen kemungkinannya pertanyaan seperti di atas bisa muncul untuk kita tanyakan pada diri sendiri? Berapa persen kemungkinannya hati kita akan tergerak untuk mencari jawabannya?
Ayah dan Bunda, maka bersyukurlah bila pertanyaan itu muncul dari mulut anak-anak kita. Semakin subur lingkungan ruhaniahnya, semakin besar kemungkinan pertanyaan tersebut bisa muncul. Tentu sebaliknya, semakin bersifat material lingkungannya, semakin kecillah kemungkinan munculnya pertanyaan seperti itu.
Ayah dan Bunda, masih dalam rangka memperingati Maulid Nabi tercinta: Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam, saya coba tawarkan alternatif jawabannya dengan mencuplik buku “Seri Mengenal 25 Nabi dan Rasul” dari Rumah Pensil Publisher yang direncanakan akan terbit tahun 2014:
“Anakku tercinta, manusia diciptakan Allah SWT penuh dengan kebaikan dan kesucian. Itulah yang dinamakan fitrah. Salah satu fitrah manusia yang paling kuat adalah keinginan untuk menyembah Allah SWT. Namun bagaimana bisa menyembah-Nya, sementara kita tidak dapat melihat dan mendengar-Nya secara langsung? Itulah sebabnya Nabi Muhammad Saw diutus kepada kita. Beliau diutus untuk memandu kita bagaimana mengenal dan menyembah Allah SWT dengan cara yang benar disertai hati yang penuh bahagia. Apa yang dibawa Rasul untuk kita, disebut risalah. Walau pada dasarnya manusia membutuhkan rasul dan risalahnya, tetapi setan selalu meniupkan dalam hati manusia agar menentang Allah dan Rasul-Nya.
“Umat masa kini lebih keras penentangannya terhadap risalah yang dibawa Nabi Muhammad Saw dibanding umat nabi-nabi lain sebelum Beliau. Penyebabnya, umat Nabi Muhammad Saw zaman sekarang sangat sombong dengan pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki. Padahal seorang ulama besar bernama Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa risalah merupakan kebutuhan pokok manusia. Kebutuhan manusia akan risalah Nabi Muhammad lebih besar dari kebutuhan jasad pada nyawa, lebih besar dari kebutuhan mata akan cahaya. Tak ada sama sekali jalan keberhasilan di dunia dan akhirat kecuali mengikuti petunjuk Nabi Muhammad Saw. Jadi kebutuhan manusia pada Nabi Muhammad dan risalahnya menjadi dasar kebutuhan manusia sebelum membutuhkan hal-hal yang lain.
“Tahukah engkau, Anakku, bahwa dengan menjadi umat Nabi Muhammad, kita menjadi kelompok manusia yang lebih mulia dari umat-umat yang lain? Inilah Anakku, beberapa keistimewaan itu:
  • Salah satu kemuliaan kita sebagai umat Nabi Muhammad Saw adalah Allah memberikan keyakinan yang lebih kuat pada kita dibanding umat-umat terdahulu. “Tidak ada suatu umat yang diberi keyakinan lebih utama daripada yang diberikan kepada umatku.” (HR Imam Al-Hakim dari Sa’id bin Mas’ud Al-Kindi)
  • Keistimewaan umat Nabi Muhammad Saw yang lain adalah wajah kita akan bercahaya demikian terang di Hari Kiamat. Rasul Saw bersabda, “Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui umatku pada Hari Kiamat di antara umat-umat lain. Aku mengetahui mereka. Kepada mereka diberikan kitab-kitabnya melalui tangan kanan mereka. Aku mengetahui mereka dengan tanda-tanda yang melekat di wajah-wajah mereka bekas sujud, dan aku mengetahui mereka melalui cahaya yang memancar di hadapan mereka.” (HR Ahmad dengan sanad sahih).
  • Kemuliaan umat Nabi Muhammad yang lain adalah kita tahu dengan pasti dimana makam Beliau. Sehingga umat Islam selalu datang berziarah berduyun-duyun. Makam Nabi Saw ada di Madinah, sedangkan nabi lain tidak pernah diketahui pasti makamnya. Diberkahilah penduduk Madinah yang menjadi tetangga Rasulullah Saw untuk selamanya.
“Jadi Anakku sayang, demikianlah besarnya keperluan kita pada Nabi kita tercinta: Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam…”
by. Eka Wardhana

Selamat Merayakan Maulid Nabi Muhammad Saw

Ayah dan Bunda, saat tibanya Hari Peringatan Lahirnya Nabi Muhammad Saw adalah saat yang paling baik untuk mengenang lagi sosok Beliau Saw. Bukan hanya mengenang, kita dituntut untuk lebih mengenal, lebih memahami dan akhirnya lebih mencintai sosok yang harus kita cintai melebihi kecintaan kepada diri sendiri ini. Itu artinya di pundak kita terpikul kewajiban untuk mengenalkan Manusia Termulia ini kepada anak-anak kita. Seberapa pentingkah sebenarnya sosok Nabi Muhammad Saw dikenalkan pada anak-anak? Berikut ini saya cuplik 2 halaman pertama buku “Seri Mengenal 25 Nabi dan Rasul” yang rencananya akan diterbitkan Rumah Pensil Publisher tahun 2014 mendatang.
Buku ini dimulai dari pertanyaan seorang anak kepada orangtuanya…
“Ayah Bundaku, Mengapa Kita Harus Mengenal Nabi Muhammad Saw?”
Anakku tersayang, kita harus mengenal Rasulullah Saw karena kita tidak akan dapat melaksanakan Islam dengan sempurna tanpa mengenal Beliau. Kita tidak akan dapat menyayangi seseorang tanpa mengenalnya. Demikian juga dengan Rasulullah Muhammad Saw. Kita tidak akan dapat mencintai Beliau bila tidak mengenalnya. Padahal salah satu syarat agar dicintai Allah SWT adalah dengan mencintai Rasulullah. Bagaimana cara mencintai Rasul? Tentu bukan sekadar merayakan Maulid Nabi atau mengenakan sorban, tetapi yang amat penting adalah mengamalkan Sunnah Rasul dan meniru ahlaq utama Rasul seperti Sidiq, Tablig, Amanah dan Fathanah.
Tahukah kamu, putraku tersayang? Orang-orang Quraisy di Mekah zaman Rasulullah, tidak menentang keberadaan Allah SWT. Mereka telah lama mengenal Allah sebagai bekas dari ajaran Nabi Ibrahim as, Nabi Ismail as dan Nabi Adam as. Hanya saja mereka tidak menganggap Allah sebagai satu-satunya tuhan yang harus disembah. Namun orang-orang Quraisy itu tidak mau mengakui Nabi Muhammad sebagai seorang Rasul. Pengakuan orang-orang kafir bahwa Allah itu ada, menjadi tidak berarti bila mereka tidak mengakui Rasul. Mereka bahkan saling bertaruh untuk kebinasaan Rasulullah. Hal ini yang membuat Allah SWT murka pada mereka.
Para sahabat Nabi dahulu melihat, bertemu, bertanya dan hidup bersama Rasul. Sementara kita bahkan hanya dapat membayangkan bagaimana wajah Rasulullah Saw. Itulah sebabnya mengenal Rasul bagi kita benar-benar menjadi sebuah keperluan besar. Gergorius Theodorus, seorang Jenderal Romawi, bertanya pada Khalid bin Walid di Perang Yarmuk, “Bila saya masuk Islam, bagaimana mungkin kedudukan kita sama?”. “Sama,” jawab Khalid, “Sebab kami menyaksikan sendiri bagaimana Rasulullah Saw, sedangkan Anda beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tanpa pernah menyaksikan Beliau. Sungguh keimanan Anda lebih kuat daripada kami.” Jenderal Romawi itu masuk Islam dan mati syahid dalam pertempuran itu.
“”Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.”… (QS Ali Imran [3]: 31). Jelaslah merindukan Rasulullah sama artinya dengan merindukan ridha Allah SWT. Rasulullah seolah berkata sambil terisak-isak tentang kerinduan Beliau pada kita, “Merekalah umat Islam yang lahir dan hadir di bumi ini jauh setelah kepergianku. Mereka tak pernah mengenal siapa aku. Hanya lewat bibir-bibir ulamalah, mereka memahami perwujudanku sebagai rasul mereka. Tapi mereka dengan patuh dapat menanamkan cintanya terhadapku. Mereka bangun, tidur, makan, mandi, berpakaian, berbicara dan sebagainya dengan tak pernah mengabaikan cara-cara yang aku lakukan saat ini. Wahai, sahabat-sahabatku, betapa suci hati mereka. Betapa tinggi loyalitas mereka terhadap ikrar keislaman yang mereka ucapkan saat menyebut kalimat syahadat yang dua, yakni mencintai aku setelah mencintai Allah Yang menjadikan mereka dan semua alam ini. Inilah yang membuat aku rindu. Rindu yang parah sekali. Keterharuan membayangkan kepatuhan yang tanpa pamrih seperti itu…”

Saatnya Jadi Anak-anak Lagi…

imagesBiasanya, setiap kali memulai sebuah Seminar Parenting, saya meminta para peserta agar mengingat satu hal: masa kanak-kanak mereka. Bagi saya, mengingat masa kanak-kanak menjadi semacam syarat agar materi yang saya sharing bisa teraplikasi dengan optimal. Tidak masuk akal rasanya, berbicara
tentang anak-anak tetapi di dalam diri kita tidak ada lagi semangat anak-anak yang tersisa. Salah satu alasan paling praktis dari hal itu adalah agar kita bisa berkomunikasi dengan anak melalui sudut pandang dan bahasa mereka. Bila hal itu sudah dikuasai, separo jalan parenting sudah ditempuh dengan baik.
Contoh komunikasi yang nyambung dengan sudut pandang anak terpapar dalam cuplikan kisah yang ditulis Corrie Ten Boom dalam The Hiding Place:
Tak lama setelah duduk di depan ayahku dalam kompartemen kereta api, aku tiba-tiba bertanya, “Ayah, apa itu Seks?”
Ayah melihat wajahku, tapi tak berkata apa-apa. Sebagai gantinya ia menurunkan kopernya dari atas rak dan menaruhnya di lantai. Lantas Ayah berkata, “Dapatkah kamu membantu membawa koper ini turun dari kereta, Corrie?”
Aku mencoba mengangkatnya sesaat, namun lantas berkata, “Wah, ini terlalu berat, Yah.”
“Betul,” angguk Ayahku. “Hanya seorang ayah yang bodoh yang menyuruh putri kecilnya membawa beban seberat itu. Nah, begitu juga dengan pengetahuan, Corrie. Ada pengetahuan yang terlalu berat untuk diketahui anak-anak. Nanti, saat kamu sudah lebih tua dan lebih kuat, kamu akan bisa menerimanya. Namun saat ini, kamu harus percaya pada Ayah dan membiarkan Ayah yang akan membawakannya untuk kamu.”
Ayah dan Bunda, semakin baik kita mengingat bagaimana rasanya menjadi seorang anak, semakin bijaksana pula tindakan kita terhadap anak-anak. Kalau sudah begitu, dijamin deh: akan semakin dicintai pula kita oleh anak-anak kita. Pertanyaannya adalah: Apakah mungkin kita yang sudah dewasa bisa kembali menghidupkan semangat anak-anak kita?
Ayah dan Bunda, menurut saya  jawabannya tergantung pada diri kita, apakah kita melihat masa kanak-kanak sebagai pantai di seberang sungai yang telah kita lewati dan jembatan kayunya yang rapuh telah terbakar habis? Atau kita setuju dengan yang ditulis John Connolly dalam The Book of Lost Things: Di dalam diri setiap orang dewasa, berbaring semangat anak-anak, dan dalam diri setiap anak terpendam masa dewasa yang akan dijalaninya…?
Hal paling menyedihkan, bila kita gagal memahami anak-anak melalui dunianya adalah: tanpa disadari kita akan mengharapkan anak-anak menjadi cepat dewasa. Mengapa? Sebab alam bawah sadar kita ingin agar anak bisa memahami apa yang kita sampaikan pada mereka dengan bahasa dewasa kita. Lupakah kita, Ayah dan Bunda, sebenarnya betapa ajaib dunia anak-anak itu? Agatha, tokoh dalam The Peach Keeper yang ditulis Sarah Addison Allen pun berpikir keheranan, “Mengapa para gadis itu begitu ingin cepat dewasa? Bukankah masa kanak-kanak penuh keajaiban? Bukankah meninggalkan masa kanak-kanak di belakang berarti kehilangan sangat besar?”
Ayah dan Bunda, sesungguhnya anak-anak bukan disiapkan untuk tumbuh menjadi dewasa, tetapi untuk menjadi anak-anak. Sebagai orang dewasa, sangatlah bijak bila kita yang mengalah dan masuk ke dunia mereka, bukan merekalah yang kita seret ke dunia kita. Bukankah kita pernah menjadi seorang anak sementara anak-anak belum pernah tahu apa itu masa dewasa?
Anak-anak yang lingkungannya penuh pengertian dengan dunia mereka akan seperti benih subur yang siap menjadi pohon kuat dan berguna. Persis seperti yang dikatakan Flannery O’Connor: Siapapun yang melewati masa kanak-kanaknya dengan baik akan punya cukup informasi kehidupan sebagai bekal sisa kehidupannya.

Ayah dan Bunda, jadilah anak-anak saat bergaul dengan anak-anak. Itulah salah satu upaya terbaik menyiapkan masa depan mereka. Benarlah Franklin Delano Roosevelt ketika ia berkata, “Kita tidak dapat menyiapkan masa depan untuk anak-anak kita, tetapi kita dapat setidaknya, menyiapkan anak-anak kita untuk menghadapi masa depan”.

By. Eka Wardhana.

Menghabiskan Waktu Berkualitas bersama Anak

images

Ayah dan Bunda, saya sempat tergagap ketika dalam sebuah seminar seorang Bapak bertanya, “Bagaimana cara menghabiskan waktu yang berkualitas bersama anak?”
Saat itu saya memberikan jawaban, “Hanya Bapak yang tahu bagaimana caranya, karena setiap anak dan setiap keluarga memiliki kebutuhan serta cara yang berbeda dalam menghabiskan waktu. Bila saat ini Bapak masih bingung, lakukan saja kegiatan (apa pun itu) bersama anak. Nanti waktu dan pengalaman yang akan memberi tahu bagaimana menjawab pertanyaan Bapak.”
Secara relatif jawaban itu bisa benar, kurang tepat atau bahkan salah. Itulah repotnya bila jadi seorang penjawab: mungkin hanya satu dari seribu jawaban yang benar. Sebaliknya, tak ada sebuah pertanyaan pun yang salah, sebab penanya memang harus bebas bertanya. Namun Ayah dan Bunda, seandainya pertanyaannya berbunyi, “Mengapa kita harus menghabiskan waktu berkualitas bersama anak?”, jawabannya tentu berbeda. Kali ini saya tidak akan menjawab langsung, saya hanya membeberkan beberapa fakta saja tentang Waktu Berkualitas. Silakan Ayah dan Bunda menemukan jawabannya sendiri.
Beberapa Fakta tentang Waktu Berkualitas:
–          ­Ayah dan Bunda, kesibukan bekerja biasanya jadi alasan yang menghalangi kita untuk menghabiskan waktu bersama anak. Kalau memang begitu, renungi saja apa yang dikatakan Sastrawan terkenal, Edgar Allan Poe, “Manusia sekarang hanya lebih aktif, tetapi tidak lebih bahagia atau lebih bijaksana dibanding mereka yang hidup 6.000 tahun yang lalu”. Kalau sibuknya pekerjaan kita karena untuk membahagiakan keluarga, mengapa kita sampai tidak punya waktu untuk dihabiskan bersama anak-anak tercinta?
–          Ketika anak menunjukkan buku yang baru dibeli dan meminta kita membacakan untuknya, kita sering berkata, “Aduh, maaf Sayang, Ayah/Bunda belum punya waktu”. Kalau begitu perhatikan saja apa yang dikatakan Lao Tzu, ribuan tahun yang lalu, “Kalau kita berkata, ‘Saya tidak punya waktu’, itu artinya sama dengan berkata, ‘Saya tidak ingin melakukannya’. Bisakah kita hargai rasa kecewa seorang anak yang keinginannya untuk mengetahui isi cerita buku barunya tidak dipenuhi orangtuanya sendiri? Kalau itu terjadi berkali-kali, rasa kecewa akan menumpulkan hati menjadi sikap tak lagi peduli pada buku. Berapa harga yang harus kita bayar untuk mengganti kerugian itu? Mungkin tak bisa dibayar walau dengan seluruh gaji seumur hidup kita.
–          Ayah dan Bunda, saat ini harus diakui bahwa Kebudayaan Barat sudah mulai mengubah kebudayaan kita sendiri. Salah satu ciri Budaya Barat modern adalah Profit-Oriented, dimana segala sesuatu diukur dari hasil secara materi. Semakin hari kita didorong untuk semakin keras mengejar hasil. Kalau sudah begitu, perhatikan apa yang dikatakan Ibu Teresa, “Di India saya melihat banyak orang menghabiskan setengah hari penuh duduk di bawah Pohon Banyan untuk saling berbicara dengan sesama. Orang Barat akan menyebutnya ‘Membuang-buang Waktu’. Sadarkah kita bahwa sebenarnya kegiatan itu memiliki nilainya sendiri: bersama seseorang, mendengarkannya tanpa mengenal waktu dan menghitung-hitung materi, ternyata mengajarkan kita tentang cinta. Suksesnya cinta adalah mencintai dan tak ada materi yang dapat membayar harga kecintaan orang pada orang lain”.
– Terkadang di hari libur pun kita masih menghabiskan waktu untuk berkomunitas sehobi yang sayangnya, banyak tidak melibatkan keluarga. Memiliki hobi dan komunitasnya tentu sangat positif, terutama dalam merefresh semangat, namun tolong jangan melupakan keluarga. Kita tidak tahu berapa banyak yang kita lewatkan saat waktu luang tidak kita gunakan bersama anak-anak dan keluarga. Sebuah kalimat dari Mitch Albom dalam buku For One More Day, kiranya cukup menjadi penutup renungan kita kali ini, “Satu hari yang kita habiskan bersama seseorang yang kita cintai, dapat mengubah segalanya”.

Mencintai Buku

adorable-book-books-cool-cute-Favim.com-333425Ketika menulis buku saku PKK untuk dibagikan ke kaum ibu di pedesaan Jawa Barat, tidak ada kalimat yang saya tulis dengan sepenuh harap untuk dimengerti selain kalimat berikut: “Bila anak-anak sudah mencintai buku, maka ia akan tumbuh menjadi orang yang cerdas. Bunda, mencintai buku penting untuk diajarkan kepada anak-anak.  Tentu saja kita tidak ingin anak menjadi kutu buku yang kurang bergaul. Tetapi anak yang cinta buku adalah anak yang senang membaca. Dan membaca itu penting bagi kesuksesan di masa depan.”
Ayah dan Bunda, di tengah melimpahnya fasilitas visual-elektronik, rasanya harus ada satu benda yang wajib berulang-ulang diserukan agar kita selalu ingat betapa pentingnya dia: Buku! Buku! Buku!
Ketika menjadi pembicara dalam sebuah kesempatan di Pulau Batam, saya selalu teringat kalimat yang diucapkan rekan pembicara yang duduk di sebelah saya: Kisah-kisah dalam sebuah buku adalah tentara Tuhan yang diturunkan ke muka bumi!
Kalimat ini tak berlebihan, ia tak lebih dari mengungkapkan kenyataan apa adanya. Perhatikanlah kalimat lainnya: Lord! When you sell a man a book you don’t sell just twelve ounces of paper and ink and glue – you sell him a whole new life (Christopher Morley). Demi Tuhan! Ketika Anda menjual sebuah buku, sebenarnya Anda tidak menjual sekadar 12 ons kertas ditambah tinta berikut lemnya. Tidak! Sebenarnya Anda menawarkan sebuah kehidupan baru pada sang pembeli!
Mudah-mudahan sejak kini, kita tidak lagi meremehkan benda kotak bernama buku. Perhatikan saja nasihat ini: This will never be a civilized country until we expend more money for books than we do for chewing gum (Elbert Hubbard). Tidak akan pernah sebuah negara maju dan menjadi lebih beradab sampai masyarakatnya menghabiskan lebih banyak uang untuk membeli buku-buku dibanding yang dihabiskan untuk membeli permen karet.
Ayah dan Bunda, nasihat di atas telah dibuktikan dalam sejarah. Bangsa Cina membangun peradaban yang maju di masa lalu dengan buku, sampai-sampai timbullah pepatah: Buku adalah sebuah taman yang dibawa di dalam kantung.
Bangsa Yunani yang dikenal sebagai peletak peradaban modern Eropa, juga menjadikan perpustakaan sebagai bagian penting masyarakatnya. Ada sebuah inskripsi yang ditulis di pintu masuk sebuah gedung perpustakaan di kota Thebes: Obat untuk Jiwa.
Beberapa cara Agar Anak Mencintai Buku:
–          Bacakan buku untuk anak, Bunda. Sebisa mungkin tiada hari tanpa membacakan buku cerita untuk anak.
–          Jangan terburu-buru mengajarkan anak membaca huruf. Lebih baik pastikan dahulu anak menyukai buku sebelum diajarkan membaca huruf.
–          Ajak anak untuk berjalan-jalan ke toko buku. Tidak harus membeli bila tidak ada uang, tetapi melihat buku yang bagus di toko sudah cukup menyenangkan.
–          Daripada membelikan anak jajan, lebih baik menyisihkan sebagian untuk membelikan buku buat anak.
–          Ajak anak mengunjungi teman atau saudara yang mempunyai buku dan tanyakan apakah boleh meminjam beberapa buku.

Hargai setiap buku yang dipunyai anak, simpan dengan rapi dan biasakan agar anak menaruhnya kembali di tempatnya bila telah selesai membaca.

by. Eka Wardhana

Menonton Televisi

 

images-1

Ayah dan Bunda, menonton televisi memang ada gunanya, tetapi juga banyak bahayanya. Karena itu orangtua harus mengawasi televisi. Saya termasuk orang yang percaya bahwa mengajarkan anak-anak cara menghadapi suatu hal yang berbahaya lebih baik daripada melindunginya secara berlebihan. Beri tahu anak-anak bagaimana cara menghadapi bahaya dari televisi lebih bijak daripada benar-benar membutakan anak dari televisi. Namun jelas dan tak bisa dibantah, cara ini jauh lebih sulit dan memerlukan konsistensi. Jangan remehkan lho, mengajarkan anak menghadapi suatu bahaya adalah bagian dari pendidikan karakter yang sangat baik. Menurut saya, salah satu karakter yang akan menonjol dari kegiatan menghadapi bahaya yang satu ini adalah Rasa Tanggung Jawab.

Berikut ini beberapa fakta tentang bahaya televisi dari hasil penelitian Psikolog Amerika, Norman Herr Ph.d:

–          Dalam satu minggu  orangtua menghabiskan waktu berbicara yang berkualitas dengan anak hanya sependek 3,5 menit. Mengapa bisa orangtua jadi secuek ini kepada anaknya? Sebabnya menurut Norman, orangtua kurang terlibat secara emosi dengan anak. Padahal salah satu bentuk pelecehan kepada anak adalah rasa cuek dari orangtua. Televisi terbukti menjadi salah satu penyebab sikap cuek ini, sebab saat ini 40% orang menghabiskan waktu luangnya untuk menonton televisi.

–          Rata-rata anak menghabiskan 900 jam per tahun di sekolah, sementara dalam waktu yang sama, mereka menghabiskan 1.500 jam di depan televisi. Menurut analisa Norman, hal ini terjadi sebab Televisi menggantikan kegiatan bermain yang menyehatkan, menggantikan mempelajari pelajaran sekolah, menggantikan bermain dengan teman, bahkan bisa dikatakan televisi menguasai kehidupan anak.

        Ada 200.000 adegan pembunuhan di televisi yang dilihat anak sebelum berusia 18 tahun. Apa seriusnya fakta mengerikan ini? Menurut Norman, saat anak melihat ribuan pembunuhan setiap tahun, terciptalah rasa cemas dan meningkatlah keinginan melakukan agresi. Secara langsung, Televisi menyebabkan gangguan emosi dan pelecehan terhadap hak anak. Parahnya, anak-anak lebih mudah dipengaruhi, lebih cepat bereaksi dan lebih mudah meniru dibanding orang dewasa. Hal ini menyebabkan kerusakan mental yang bisa terbawa sampai masa remaja. Inilah sebabnya di Amerika jumlah anak-anak yang bunuh diri meningkat 300% dibanding tahun 50-an di masa ketika Televisi belum dikenal.

Ayah dan Bunda, fakta-fakta di atas adalah hasil penelitian di Amerika Serikat. Bagaimana dengan di Indonesia? Bisa jadi lebih parah, sebab kita di Indonesia banyak melakukan pola asuh Permissive yang cenderung membebaskan anak melakukan apa saja tanpa tanggung jawab utuh.

 

 

Beberapa Cara Menghindari Bahaya Televisi:

 

       Jangan menyalakan televisi terus-menerus. Meskipun saat itu anak sedang tidak menonton televisi. Suara siaran televisi bisa masuk tanpa tersaring ke benak anak.

 

–          Temani anak menonton televisi. Kita bisa menjelaskan apa yang ditayangkan televisi, misalnya, “Pakaian yang dipakai artis tadi kurang sopan ya?”

 

–          Jangan memakai televisi untuk membuat anak tenang sehingga tidak mengganggu kesibukan kita. Lebih baik mengajak anak membantu, misalnya, “Tolong ambilkan garam, Nak. Bunda mau memasak hidangan untuk Ayah.”

 

–          Orangtua harus tahu apa isi acara yang ditonton anak. Bila yakin acara itu baik, boleh lah anak menontonnya.

 

–          Harus ada jam-jam khusus ketika televisi dimatikan. Misalnya menjelang maghrib, ketika anak-anak harus melakukan shalat dan belajar.

 

–          Orangtua jangan menonton televisi sementara anak sedang belajar atau mengerjakan pe-er. Lebih bagus orangtua menemani anak belajar atau membaca buku.

 

Sportif

Ayah dan Bunda, seiring dengan usia mereka yang semakin bertambah, anak-anak akan dihadapkan pada kenyataan bahwa hidup ini penuh dengan persaingan yang tidak bisa dihindari. Penting sekali bagi kita sejak awal untuk membayangkan bahwa anak kita akan menghadapi suasana bersaing itu dengan hati yang tenang dan penuh percaya diri. Sebab biasanya orangtua manapun akan dipenuhi kecemasan bila harus membayangkan masa depan anak-anaknya. Buruknya, kecemasan kita itu tertular lewat kata-kata yang sebenarnya bermaksud baik, namun membawa nafas negatif, seperti: “Kamu harus belajar sekeras mungkin, kalau tidak, nanti bisa jadi gelandangan”, dan semisalnya.
Jiwa anak-anak ibarat sebidang tanah subur yang akan menumbuhkan bibit apapun yang kita tanam di situ. Maka ajarkan hal pertama: bahwa persaingan hidup itu harus diterima, bukan dihindari. Saat kita berjuang menghadapi persaingan, entah menang atau kalah, kita akan belajar lebih banyak dan lebih dalam dari semua teori di dunia yang bisa dicekok ke otak kita. Agar anak-anak tumbuh menjadi orang yang tenang di tengah persaingan, ajarkan bahwa yang lebih utama harus dihadapi sebenarnya bukan orang lain, melainkan dirinya sendiri. Simak deh kalimat ini:
I don’t believe you have to be better than everybody else. I believe you have to be better than you ever thought you could be (Ken Venturi). Sebenarnya bukan kita harus menjadi lebih baik dari orang lain, melainkan kita harus menjadi lebih baik dari yang pernah kita bayangkan terhadap diri kita sendiri.
Sportivitas adalah sifat yang sangat berharga. Sportif adalah semangat bersaing yang sehat. Sikap Sportif dibutuhkan anak untuk bisa berjuang meraih cita-citanya. Orang yang sportif akan jauh dari rasa dendam, ia justru akan semakin baik dari hari ke hari. Orang sportif akan fokus mengolah kelebihan dirinya untuk menghadapi kelebihan orang lain. Sementara orang yang tidak sportif lebih fokus mengekspos kelemahan orang lain tanpa tahu kelebihan diri. Sikap Sportif dan Gentle demikian penting, bahkan orang tidak bisa menjadi kreatif tanpa punya sikap Sportif.
A creative man is motivated by the desire to achieve, not by the desire to beat others (Ayn Rand). Orang kreatif didorong oleh semangat untuk berprestasi, bukan oleh hasrat untuk mengalahkan orang lain dan menunjukkan bahwa ia lebih baik dari mereka.
Beberapa Cara Menumbuhkan Sikap Sportif pada Anak:
–          Ajarkan dan ajak anak untuk berolah raga.
–          Jangan memberi harapan terlalu besar pada anak saat ikut berlomba, bila kita tahu kecil peluang anak untuk menang.
–          Berikan hadiah sederhana bila ia gagal dalam sebuah perlombaan.
–          Ajarkan anak kisah orang-orang sukses.
–          Ajarkan anak untuk mengakui kesalahan dan kekurangannya.
–          Beri anak semangat untuk selalu berusaha semaksimal mungkin.
–          Ajar anak untuk selalu menghormati sekaligus tidak meremehkan orang lain.
–          Ajar anak untuk segera dan tidak sungkan meminta maaf kepada orang lain.
 
Sikap Sportif adalah warisan berharga bagi anak-anak kita, lebih berharga dari setumpuk fasilitas yang bisa kita berikan kepada mereka.

Berikan Anak Cahaya

 

adam-smile

Ayah dan Bunda, Muhammad Ali pernah bilang, “It isn’t the mountains ahead to climb that wear you out; it’s the pebble in your shoe”. Bukan tinggi dan sulitnya gunung-gunung yang membuat kita gagal melakukan pendakian, melainkan kerikil di dalam sepatu kita.

Muhammad Ali benar sekali, bukan masalah-masalah besar yang membuat kita ciut, tetapi tak adanya semangat dalam hati kita! Wah, Ayah… Wah, Bunda… berapa banyak dari kita yang melupakan hal penting ini dalam mendidik anak-anak kita? Bukankah kebanyakan kita lebih peduli pada nilai-nilai akedemis anak daripada memperhatikan apa saja life skill yang sudah diperolehnya? Mengapa kita mempola hidup anak persis seperti orangtua kita dulu mempola masa depan kita? Tentu orangtua kita tak sepenuhnya salah, tetapi zaman telah berubah, bukan? Sudah seharusnya sekarang kita menilai anak dari sorot mata dan senyumnya, bukan melulu dari apa yang tertulis di dalam raport. Apalagi raport yang hanya beberapa halaman itu harus ditunggu berbulan-bulan, sementara sorot mata dan senyum anak yang maknanya dalam itu bisa kita lihat setiap saat.

Nah, Ayah… Nah, Bunda… dalam sorot mata dan senyum anak itulah tampak seberapa besar semangat dalam dadanya!

Saya pernah terpesona mendengar sebuah cerita tentang sepasang suami istri yang memiliki tiga anak cacat mental. Bila kisah ini berhenti di sini, yang timbul ada rasa kasihan. Namun cerita ini memiliki kelanjutan: seorang ibu yang sedang kewalahan dengan tingkah “nakal” anak tunggalnya terheran-heran melihat pasangan suami istri itu memperlakukan ketiga anak cacat mereka. Tampaknya pasangan ini tidak terganggu dengan kondisi itu, mereka malah kelihatan ceria. Mereka tunjukkan hal-hal asyik di mall yang mereka masuki, mereka ajak senyum dan tertawa ketiga buah hati mereka. Akhirnya, ibu yang penasaran ini tak tahan lagi, ia mendekat dan bertanya, “Saya lihat Anda berdua sangat berbahagia dengan anak-anak Anda. Maaf, tapi bolehkah saya tahu apa sebabnya?”

Sambil tersenyum, pasangan itu menjawab singkat, “Hanya orangtua istimewa yang diberi anak-anak istimewa pula.”

Sang Ibu, saya dan Anda sama-sama termangu. Itu jawaban paling istimewa namun sebenarnya juga paling benar dan paling wajar yang pernah keluar dari mulut para orangtua. Kalau anak-anak yang cacat mental saja istimewa, bagaimana dengan anak-anak normal
yang kini dititipkan Tuhan kepada kita? Dengan hati penuh rasa syukur, tentu kita bisa bilang bahwa anak-anak kita juga tak kalah istimewanya! Walau nilai matematikanya kalah sama teman-teman sekelasnya? Ya! Walau dianggap malas karena tak mau cepat-cepat belajar membaca? Ya! Walau.. walau.. walau..? Ya! Ya! Ya!

Bagaimana menyalakan api semangat dalam dada anak-anak? Salah satu cara terbaik menurut saya, Ayah dan Bunda, adalah menemukan dimana potensi mereka berada. Sebagai orangtua kita harus jadi sepasang detektif kompak yang berusaha mengurai teka-teki ini: dimana sebenarnya minat dan bakat anak?

Temukan dan buka pintu minat anak seluas-luasnya. Niscaya anak akan jadi percaya pada dirinya sendiri. Bila anak sudah percaya diri? Lihat saja sorot mata dan senyumnya! Anda akan tercengang melihat masa depan akan takluk di tangannya. Itulah cahaya yang bisa kita berikan pada mereka.

Ingat deh apa yang Muhammad Ali bilang, “A rooster crows only when it sees the light. Put him in the dark and he’ll never crow. I have seen
the light and I’m crowing”. Ayam jantan berkokok hanya bila ia melihat cahaya mentari pagi. Taruh ia dalam kegelapan, maka ia tidak akan pernah berkokok. Saya telah melihat cahaya itu dan saya pun berkokok.”

By. Eka Wardhana

Do’a Seorang Ayah

by. Eka Wardhana
Ayah dan Bunda, Jenderal Douglas Mac Arthur adalah Panglima Mandala Pasifik Amerika saat Perang Dunia II melawan Jepang. Ia juga menjadi Panglima Pasukan PBB dalam Perang Korea. Di balik sisi kepahlawanannya yang gemilang, Mac Arthur pernah menuliskan sebuah doa yang menyentuh. Bukan sebagai seorang jenderal yang harus memenangkan perang, tetapi sebagai seorang ayah…
Tuhanku…Bentuklah puteraku menjadi manusia yang cukup kuat untuk mengetahui kelemahannya.
Dan, berani menghadapi dirinya sendiri saat dalam ketakutan.
Manusia yang bangga dan tabah dalam kekalahan.
Tetap Jujur dan rendah hati dalam kemenangan.Bentuklah puteraku menjadi manusia yang berhasrat mewujudkan cita-citanya
dan tidak hanya tenggelam dalam angan-angannya saja.
Seorang Putera yang sadar bahwa
mengenal Engkau dan dirinya sendiri adalah landasan segala ilmu pengetahuan.
 
Tuhanku…Aku mohon, janganlah pimpin puteraku di jalan yang mudah dan lunak.
Namun, tuntunlah dia di jalan yang penuh hambatan dan godaan, kesulitan dan tantangan.Biarkan puteraku belajar untuk tetap berdiri di tengah badai dan senantiasa belajar
untuk mengasihi mereka yang tidak berdaya.Ajarilah dia berhati tulus dan bercita-cita tinggi,
sanggup memimpin dirinya sendiri,
sebelum mempunyai kesempatan untuk memimpin orang lain.

 
Berikanlah hamba seorang putra
yang mengerti makna tawa ceria
tanpa melupakan makna tangis duka.
Putera yang berhasrat
Untuk menggapai masa depan yang cerah
namun tak pernah melupakan masa lampau.Dan, setelah semua menjadi miliknya…
Berikan dia cukup Kejenakaan
sehingga ia dapat bersikap sungguh-sungguh
namun tetap mampu menikmati hidupnya.
 
Tuhanku…Berilah ia kerendahan hati…
Agar ia ingat akan kesederhanaan dan keagungan yang hakiki…
Pada sumber kearifan, kelemahlembutan, dan kekuatan yang sempurna…
Dan, pada akhirnya bila semua itu terwujud,
hamba, ayahnya, dengan berani berkata “hidupku tidaklah sia-sia”