INDAHNYA MASA KANAK-KANAK

Pagi itu suasana Desa Ciherang yang damai lebih berwarna dari biasanya. Seorang laki-laki berusia 40-an datang bertamu. Penampilannya yang lusuh tidak menghalangi rasa penasaran warga desa. Maklum, meski berwajah muram, laki-laki itu jangkung, tampan dan bermobil mewah. Suasana tambah meriah ketika warga tahu bahwa laki-laki itu pernah berkunjung ke desa mereka saat masih kanak-kanak. Satu dua orang mulai mengenali dan menyapanya, “Kamu Andri kan? Ingat sama saya nggak? Saya Usep, dulu kita pernah menangkap lele di sawah…”
Andri membalas setiap sapaan dengan ramah. Setelah dua-tiga hari, suasana sudah mereda. Andri yang pendiam dan penyendiri, tidak lagi memancing perhatian warga. Mereka hanya tahu tamu jauh dari kota besar itu menginap di rumah paman jauhnya di ujung desa. Andri sendiri jarang terlihat, ia lebih suka merenung di saung di tengah sawah, memanjat bukit atau menjelajah ke hutan sekitar desa untuk memotret burung dan tupai.
Selepas Ashar para penggembala pulang menggiring kerbau. Mereka turun ke sungai untuk menggosok lumpur dari kulit kerbau sebelum melanjutkan perjalanan ke kandang masing-masing. Semua itu tak luput dari bidikan kamera Andri. Sebuah teguran ramah menghentikan ceklikan kameranya, “Sedang memancing, Dri?”
Andri menoleh dan melihat Usep yang tersenyum lebar sambil memanggul cangkul.
“Iya, dari tadi belum dapat ikan, jadi aku memotret sambil menunggu,” Andri menunjuk tongkat pancingnya yang ditancapkan ke tanah dengan beberapa batu penahan.
Khas orang desa, tanpa bertanya lagi, Usep duduk dan mengajak Andri ngobrol. Andri heran sendiri karena ia tak merasa keberatan, mungkin hatinya membutuhkan teman bicara setelah beberapa hari ini lebih banyak bersepi-sepi sambil mengunci mulut. Setelah beberapa menit, akhirnya terlontar juga sebuah pertanyaan yang mewakili rasa penasaran semua warga Ciherang, “Sebenarnya sedang apa kamu di sini, Dri? Setelah lebih dari 30 tahun tidak datang kemari, rasanya aneh bertemu kamu lagi.”
Andri menghembus napas panjang, diam sejenak, lalu menjawab, “Sedang liburan saja.”
“Kamu sudah menikah? Sudah punya anak?”
Andri mengangguk enggan.
“Kenapa keluarga kamu tidak dibawa sekalian? Sekarang kan sedang liburan sekolah.”
Ini adalah pertanyaan yang paling ingin Andri hindari, namun selama tiga hari ini suasana indah Ciherang telah meringankan hatinya. Perlahan Andri menjelaskan, “Justru karena merekalah aku kembali kesini. Aku punya anak laki-laki semata wayang. Ia ABG tampan yang digandrungi banyak teman-teman perempuannya. Istriku cantik dan mandiri, ia wanita karir yang hebat. Karena aku dan istriku sibuk meniti karir, putraku jadi terabaikan. Akhirnya ia overdosis narkoba dan meninggal beberapa bulan lalu. Istriku tak kuat menahan penyesalan, akhirnya minum racun serangga dan menyusul anakku pergi. Kamu bisa bayangkan galaunya hatiku, jadi aku pergi ke sini untuk meringankan perasaan.”
“Kenapa Desa Ciherang?”
“Karena di sinilah aku pernah merasakan kebahagiaan masa kanak-kanak. Aku berharap bisa merasakan lagi kebahagiaan itu dan menumbuhkan lagi semangat hidup.”
“Bagaimana mungkin kamu bisa merasakan lagi kebahagiaan semasa kanak-kanak sementara masa kanak-kanak itu sudah hilang dari hati kamu?”
Pertanyaan itu menohok perasaan Andri, “Kenapa kamu bilang begitu, Sep?”
“Aku memang tinggal di desa, tapi aku tahu satu hal: orang dewasa biasanya tidak lagi membawa masa kanak-kanak di dalam hatinya. Salah satu kerugian hal itu adalah kita jadi sulit memahami dunia anak-anak kita. Hal paling menyedihkan, bila kita gagal memahami anak-anak melalui dunianya adalah tanpa disadari kita akan mengharapkan anak-anak menjadi cepat dewasa. Mengapa? Sebab alam bawah sadar kita ingin agar anak bisa memahami apa yang kita sampaikan pada mereka dengan bahasa dewasa kita.”
Air mata Andri berlinang-linang, “Memang itulah yang terjadi antara aku dan anakku. Aku tak banyak ingat masa-masa kecilnya, tahu-tahu ia sudah menjadi remaja dengan segudang masalah. Aku sadar sekarang, masa kecil anakku tidak bahagia. Bagaimana itu mungkin? Padahal masa kecilku begitu bahagia, terutama di sini, bersama kamu dan teman-teman kita dulu…”
Usep berkata pelan, “Orang paling beruntung menurutku adalah orang yang pernah mengalami kebahagiaan masa kanak-kanak. Jadi aku berharap sebentar lagi kamu bisa memulai lagi hidup kamu, mempunyai anak-anak lagi dan bertekad untuk tidak pernah lagi melewatkan masa-masa indah kanak-kanak mereka.”
Saat itu istri Usep datang membawa 2 anak lucu. Salah satunya masih dalam buaian. Suasana langsung mencair.
Andri memandang Usep lekat-lekat, “Ini kan Suhaemi yang dulu kita kecengin bersama? Kamu beruntung bisa meminang dia!”
Tawa Usep terlontar, “Kami sempat kuliah bersama, aku di Pertanian dan dia di Psikologi. Lalu kami menikah dan memutuskan untuk pulang ke sini, ke tempat kami pernah merasakan indahnya masa kanak-kanak kami.”
Air mata Andri mengalir hangat, hatinya berkata, “Memang benar, tidak pernah ada kata terlambat untuk membawa lagi masa indah kanak-kanak kita di dalam hati. Ternyata inilah modal untuk menjadi ayah dan suami yang baik. Bila Allah berkenan memberiku sebuah keluarga lagi, aku tak akan melupakan apa yang kudapatkan ini…”

INILAH SAUDARA-SAUDARAKU…

Seorang laki-laki muda muncul ke panggung disambut tepukan tangan dalam sebuah acara reality talkshow di televisi. Ketampanan wajahnya sedikit terkurangi gurat-gurat beban.
“Tamu kita kali ini adalah Bramasta Dipta,” ucap Sang Presenter. “Seorang Desainer Grafis muda yang sukses membangun sebuah perusahaan konsultan grafis tingkat internasional. Namun tampaknya kesuksesan itu tidak sepenuhnya berbuah kebahagiaan. Kenapa, Bram?”
Bram memperbaiki duduknya, memandang lantai sejenak, menghela napas, lalu menatap Sang Presenter, “Karena ada lubang besar dalam kehidupan saya, Mbak.”
“Bisa diceritakan pada kami?”
“Lubang besar dalam kehidupan saya itu adalah keluarga saya.”
“Istri Anda? Yang baru saja Anda ceraikan?”
“Sebenarnya bukan itu. Saya adalah anak ke-4 dari 7 bersaudara. Kami terdiri dari 5 anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Ke-6 saudara saya itulah lubang besar dalam hidup saya kini. Sudah lama mereka menjauh dan tidak lagi mengakui saya sebagai salah satu saudara mereka.”
“Tidak lagi diakui sebagai saudara??? Boleh kami tahu apa sebabnya?”
“Setelah mendapat gelar sarjana, saya memutuskan untuk menikah dengan salah seorang rekan kuliah saya. Kami beda agama. Pacar saya itu memaksa saya untuk keluar dari Islam dan memeluk agamanya sebagai syarat agar pernikahan kami bisa dilangsungkan. Kontan seluruh kakak dan adik-adik saya menolak keinginan itu. Tapi dalam keadaan mabuk kepayang, saya memutuskan untuk pindah agama. Sejak itulah tali silaturahim kami putus.”
“Sampai sekarang?”
“Ya, sampai sekarang. Padahal saya sudah menceraikan istri saya dan kembali menjadi seorang muslim.”
“Saya yakin di sini banyak orang bertanya: mungkin Anda menyesal memiliki saudara? Bayangkan, bila Anda anak tunggal, mungkin tidak akan ada yang protes pernikahan Anda dan mungkin Anda masih bersama dengan istri Anda saat ini. Bagaimana tanggapan Anda?”
“Mbak, kalau kelak saya menikah lagi, saya justru berharap agar Tuhan menganugerahi anak saya dengan beberapa orang saudara. Setidaknya satu orang.”
“Alasannya?”
“Karena seorang saudara tidak hanya berfungsi menjadi penjaga saudaranya yang lain, tetapi justru ikut membentuk karakter saudaranya itu. Itulah fungsi terbesar seorang saudara bagi kita.”
“Tapi bisa jadi seiring dengan berlalunya waktu, tentunya perilaku seseorang bisa berubah terhadap saudaranya?”
“Bisa jadi, tapi dalam kebanyakan kasus yang terjadi adalah sebaliknya. Seperti yang saya alami sebelum peristiwa pernikahan. Bagi kami bertujuh, waktu seolah tidak berlalu. Kami masih sama seperti dulu. Kami punya lawakan-lawakan khas keluarga, kami menyimpan rahasia-rahasia keluarga, kami bahkan juga ingat pertengkaran-pertengkaran kami. Itu artinya hati kami sudah saling berbagi satu sama lain.”
“Jadi bagi Anda memiliki saudara sangat penting artinya?”
“Sangat, sebab tidak ada cinta seperti cinta kepada saudara kita.”
“Seandainya Anda boleh memilih, jenis orang seperti apa yang akan Anda pilih sebagai saudara-saudara kandung Anda?”
“Di sinilah uniknya sebuah persaudaraan dalam suatu keluarga, sebab kita tidak bisa memilih keluarga kita. Tuhanlah yang memilihkannya untuk kita.”
“Jadi Anda tidak menyesal punya keluarga yang demikian kuat memegang prinsip sampai memilih mengucilkan Anda daripada mengorbankan prinsip tersebut?”
“Saya tidak menyesal, sebab sayalah yang salah.”
“Apa Anda rindu bertemu dan diterima mereka lagi?”
“Itu segala-galanya bagi saya sekarang.”
“Kalau begitu terimalah mereka kembali….”
Saat itu juga, 6 kakak dan adik Bram muncul. Kakak sulungnya menyapa, “Assalamu’alaikum, Bram. Sebenarnya kami juga sangat rindu dan sayang padamu, Dik.”
Bram memeluk mereka semua sambil menangis. Lalu dengan bangga ia berkata pada para penonton di studio, “Para hadirin, inilah saudara-saudaraku…”

UNDERWEAR RULE (2)

“Poin Underwear Rule berikutnya adalah:
“4. Mencegah dan Melindungi Adalah Tanggung Jawab Orangtua.
“Ingat satu hal, Di: keselamatan dan kebahagiaan anak adalah tanggung jawab orangtua, bukan guru atau kerabat lainnya. Maka dari itu, orangtua harus terdidik sebelum mendidik anak. Selama komunikasi tentang seks masih berlandaskan edukasi, tentu anak akan menerimanya sesuai penalaran yang kita sampaikan kepada mereka. Jadikan komunikasi dengan terbuka sebagai tradisi dalam keluarga sehingga anak tidak pernah merasa sungkan dalam membicarakan dan membahas apa pun kepada orangtua.
“5. Mengajarkan Cara Bereaksi Terhadap Tindakan Mencurigakan
“Terdapat 4 panduan yang bisa kita ajarkan kepada si Kecil untuk bereaksi saat ada orang asing yang berperilaku tidak wajar kepada mereka. 4 panduan itu adalah:
“- Cara Mencurigai dan Melaporkan
Beritahu kepada anak mengenai siapa saja orang yang bisa mereka percaya dalam keluarga dan sekolah. Jadi, ketika ada orang lain di luar itu, anak pantas merasa curiga dan mengomunikasikannya kepada orangtua atau guru di sekolah.
“- Cara Mengenali Orang-orang Mencurigakan di Lingkungan Anak
Dalam kebanyakan kasus, pelaku adalah seseorang yang dikenal anak. Tak heran bila kondisi ini membuat anak sulit memahami bahwa apa yang dilakukan orang tersebut adalah bentuk penyiksaan. Untuk mengatasinya, orangtua tidak boleh putus komunikasi dengan anak, pastikan setiap hari bertanya kepada anak apakah ada seseorang yang memberikannya hadiah atau memperlakukannya lebih dari biasanya.
“- Cara Mengamati Orang-orang Mencurigakan di Luar Lingkungan Keluarga dan Sekolah
Dalam beberapa kasus pelecehan seksual, pelakunya adalah orang asing. Ajarkan aturan sederhana kepada anak tentang tata cara bersikap dan berbicara dengan orang asing. Beberapa di antaranya adalah menolak satu mobil dengan orang yang mereka tidak kenal, jangan menerima hadiah dari siapa pun kecuali keluarga dan teman, dan menolak ajakan bermain di luar sekolah.
“- Cara Mencari Pertolongan
Anak-anak harus tahu bahwa selain orangtua, ada orang profesional yang dapat membantu mereka bila ada orang lain yang berbuat tidak sopan kepada mereka, misalnya guru, polisi, pekerja sosial, dan psikolog sekolah.
“Nah, begitu lho, Di. Sudah jelas kan? Di? Di?”
Tak terdengar jawaban Dyah, cuma isak tangis tertahan.
“Kok nangis, Di?”
“Ak… aku merasa bersalah banget pada Maya, Put. Ternyata banyak hal yang aku lupakan dalam mendidik dia.”
“Wajar, Di. Banyak sekali kita yang belum tahu.”
“Iya, tapi kejadian itu membuatku merasa kecolongan, Put….”
Putri diam sejenak, lalu menghibur, “Insya Allah belum terlambat Di. Kalau Maya masih ketakutan, bawa saja ke tempat aku. Biar aku coba melaksanakan terapi ringan tapi menyenangkan.”
Kini rasa syukur melanda hati Dyah, menggantikan rasa takut dan penyesalan yang belum lama ini begitu mencekiknya. Di luar itu, sebuah ide pun muncul: Aku akan mengusulkan pada sekolah untuk mengadakan semacam mini seminar yang temanya tentang Underwear Rule yang baru aku tahu barusan. Mudah-mudahan Putri juga bisa membantu. Semoga peristiwa ini tidak akan pernah terulang lagi…

UNDERWEAR RULE (1)

“Ma, orang jahat itu siapa sih?” tanya Maya manja pada Dyah, ibunya.
“Orang jahat itu orang yang bermaksud nggak baik. Misalnya mereka ingin mengganggu, menyakiti atau mengejek orang lain. Memangnya ada apa, May?”
“Tadi di sekolah, Maya dipegang-pegang sama Pak Oon. Teman-teman Maya pada teriak: Ih Pak Oon jahat! Ih Pak Oon jahat!”
Berbarengan dengan bunyi DEG! Di jantungnya, Dyah cepat menyambar, “Pak Oon siapa, May?”
“Itu yang suka di kebun. Maya nggak suka soalnya tangan Pak Oon bau tanah!”
“Kamu mengadu sama Bu Guru nggak?” suara Dyah mulai melengking.
Maya menggeleng, “Nggak ah, kata Pak Oon jangan bilang Bu Guru, ini rahasia…”
Pucat pasi dan lemas, Dyah terhenyak di kursi. Tak disangkanya, sekolah TK mahal tempat Maya bersekolah bisa kecolongan mempekerjakan tukang kebun dengan penyakit psikis seperti Pak Oon. Dyah hampir yakin kalau Maya tidak berbohong. Selama ini putri sulungnya itu tak pernah berdusta. Lagi pula ada baiknya berhati-hati dan menganggap hal ini sangat serius untuk diselidiki. Aku sama sekali tidak boleh mengabaikan masalah ini dengan menganggap cerita Maya mengada-ada. Resikonya terlalu besar untuk diabaikan.
Tanpa membuang waktu, Dyah menelepon wali kelas Maya. Setelah menjelaskan bolak-balik dengan agak heboh khas ibu-ibu, Dyah mendapat janji untuk membicarakan hal ini besok pagi di sekolah. Sementara itu Maya diizinkan untuk diam dulu di rumah.
Setelah itu Dyah tak lagi sanggup mengerjakan apa pun dengan tenang. Sampai akhirnya ia teringat pada Putri. Teman akrabnya itu lulusan Fakultas Psikologi. Tanpa mengecek apakah pulsanya masih cukup untuk ngobrol lama, Dyah menekan nomor Putri dan langsung tersambung. Tak lama berbasa-basi, Dyah tembak langsung ke masalah.
“Itulah perlunya mengenalkan Underwear Rule pada anak-anak sejak balita, Di,” respon Putri kalem.
“Apaan tuh? Jelaskan dong. Semoga kamu punya waktu.”
“Oke, tapi siap-siap dengerin ya, aku mau ceramah nih.”
“Seumur-umur baru kali ini aku pengen banget dengerin kamu. Beneran!”
Putri tertawa kecil, lalu mulai ceramahnya, “Underwear Rule adalah pedoman sederhana bagi orangtua dalam membimbing anak tentang aturan-aturan berkomunikasi, berinteraksi, dan bersentuhan dengan orang lain, terutama di luar keluarga inti. Aturan ini mengajarkan sebuah prinsip dan nilai hidup yang tegas kepada anak bahwa tubuh mereka adalah milik mereka sendiri. Tidak boleh ada orang lain yang menyentuh dan menyakitinya, bahkan tidak juga orangtua dan saudara kandung.”
“Oooh begitu. Tolong teruskan, Put…”
“Oke, ada 5 poin Underwear Rule yang wajib kita ajarkan:
“1. Mengajarkan si Kecil Bahwa Tubuh Mereka Harus Dijaga dan Dilindungi.
“Jelaskan kepada anak bahwa ada beberapa anggota tubuh yang merupakan bagian intim, yang sifatnya sangat pribadi, tidak boleh dilihat dan dipegang orang lain, kecuali untuk alasan medis. Usahakan untuk tidak memberikan julukan atau istilah samaran dalam mengajarkan bagian intim tubuh si kecil. Mengajarkan soal seks kepada anak harus dilakukan lebih dari sekali dan berulang-ulang. Tujuannya agar anak langsung ingat ketika ada seseorang yang berusaha menyentuh di bagian tubuh yang tidak pantas dan segera bereaksi sesuai yang diajarkan.
“2. Ajarkan Perbedaan Sentuhan yang Pantas dan Tidak Pantas.
“Anak tidak selalu bisa membedakan bagaimana cara orang lain menyentuh mereka, apakah sentuhan tersebut wajar atau tidak. Tak hanya sentuhan, ajarkan kepada anak bahwa orang lain dilarang keras memandangi bagian tubuh mereka yang pribadi. Jika ada yang bersikap demikian, anak harus menegur atau melaporkan orang tersebut kepada guru di sekolah dan orangtua.
“3. Ajarkan Perbedaan Rahasia Baik dan Rahasia Buruk.
“Salah satu strategi yang kerap kali dilakukan oleh pelaku pelecehan seksual adalah mengajak anak untuk bermain rahasia-rahasiaan. Terkadang anak merasa bersemangat dan diistimewakan bila dipercaya menyimpan rahasia orang lain. Maka dari itu, sampaikan kepada anak bahwa tidak semua rahasia pantas disimpan, terutama rahasia yang membuat mereka tidak nyaman, ketakutan, sedih, dan tersiksa.”
Putri menarik napas sejenak, “Eh, kamu sudah bosan belum dengerin ceramah aku, Di?”
“Belum, Put. Malah lagi asyik-asyiknya nih.”
“Oke deh, kalau begitu kita lanjuuut….”

CITA-CITA PENTING YANG TIDAK BIASA…

Pemandangan di luar jendela tidak menarik perhatian Yuli. Padahal ia tidak sering naik kereta api keluar kota seperti ini. Kepala gadis kecil 10 tahun itu justru dipenuhi banyak pertanyaan tentang masa depan. Ia menoleh, menatap wajah ayahnya yang dari tadi asyik menekuni bacaan.
“Ayah, menurut Ayah siapa sih yang paling penting di dunia ini?”
Mansyur berhenti membaca, menatap wajah putri satu-satunya itu. Dengan kening berkerut karena berpikir, Mansyur menjawab, “Sepertinya kesehatan deh.”
“Ayah, aku bukan bertanya apa tapi siapa…”
“Oh iya. Hmm… Kalau begitu menurut Ayah sih jawabannya adalah keluarga. Benar nggak?”
“Kalo menurut aku sih itu tidak benar, Ayah.”
“Lho? Gitu ya? Hmm… oke deh. Nah, menurut kamu siapa dong yang paling penting di dunia ini?”
“Aku tidak tahu sih, makanya aku nanya sama Ayah…”
“Wah, Ayah jadi bingung nih. Tadi Ayah sudah jawab, tapi kamu bilang bukan. Jadi….”
“Soalnya tadi kan Ayah bilang kalau jawabannya adalah keluarga. Menurut aku itu salah karena keluarga bukan hal yang paling penting di dunia, tetapi…”
“Tetapi apa?”
“Tetapi merupakan segala-galanya.”
Mansyur tersenyum, sedikit kaget bercampur kagum, “Boleh nggak Ayah tahu kenapa menurut kamu keluarga adalah segala-galanya bagi kita?”
“Sebab menurut aku, orang yang tidak punya keluarga akan sedih dan sendirian di dunia ini.”
“Kan dia bisa punya teman?”
“Iya, tapi teman kan tidak sama dengan keluarga. Kan Ayah pasti lebih sayang aku dibanding sayang pada teman Ayah. Iya kan?”
“Ya iyalah.”
“Jadi karena keluarga itu segala-galanya, aku sekarang sudah punya cita-cita yang nggak akan berubah-ubah lagi seperti kemarin.”
“Oh ya, apa itu?”
“Cita-citaku adalah menjadi Ibu yang baik buat anak-anakku nanti dan menjadi istri yang shalihah buat suamiku kelak.”
“….” Mansyur jadi speechless. Baru setelah beberapa detik ia bisa berkata lagi, “Lantas bagaimana dengan segudang cita-cita kamu kemarin yang ingin menjadi dokter, arsitek, juara lomba masak dan lain-lain itu?”
“Itu kan cita-cita pendamping. Menurut aku perempuan harus siap menjadi istri dan ibu. Benar kan?”
Mansyur mendadak khawatir, jangan-jangan Yuli mulai menyerah dengan nilai-nilainya di sekolah sehingga ia mengambil jalan mudah, jalan yang sudah pasti menjadi kodrat setiap wanita. Seolah membaca pikiran itu, Yuli memegang tangan Mansyur, “Ayah nggak usah khawatir. Nilai-nilaiku tetap baik. Aku tetap semangat belajar. Ibu yang pintar kan bisa mendidik anak-anaknya menjadi pintar juga. Iya kan?”
Mansyur menahan kekagetannya lagi, kali ini dengan memaksa dirinya berpikir keras, ini cita-cita yang tidak biasa bagi seorang anak. Tapi apakah salah? Hmm… kukira tidak salah sih. Yuli hanya menyadari bahwa hal yang tidak terelakkan baginya adalah menjadi seorang istri dan ibu. Jadi mengapa tidak diniatkan sekalian untuk menjadi istri dan ibu yang baik? Pikirannya buyar saat suara Yuli terdengar lagi, “Jadi kenapa Ayah kemarin marah-marah sama Ibu?”
“Hmm… itu ya? Kalau itu sih begini… hmm… mungkin memang Ayah lagi emosi sih. He..he… Kenapa gitu?”
“Ayah harus sayang sama Ibu dan banyak menahan marah dong. Ibu kan wanita yang penyayang, nah wanita penyayang itu adalah tiang keluarga.”
Tawa Mansyur pecah, sambil mengusap-usap kepala putrinya, ia mengucapkan janji, “Baiklah kalau begitu. Wah, di rumah kita ternyata ada satu lagi ibu-ibu nih. Ayah harus berhati-hati kalau bicara.”
Kali ini mereka berdua tertawa bersama-sama. Sampai tiba di tujuan, tidak ada lagi rasa bosan di perjalanan.

WASIAT DARI DUA ORANG IBU

Besok adalah hari pernikahan Tari dan Hari. Bila orang lain menyambut saat seperti ini dengan bahagia, Tari merasa perasaannya banyak bercampur dengan kesedihan. Betapa tidak, sang ibu yang terkena kanker stadium 4 sudah beberapa bulan ini hanya terbaring di tempat tidur. Seperti juga Hari, Tari sebenarnya merasa amat berat melangsungkan pernikahan di saat begini, namun akhirnya resepsi pernikahan jadi juga dilangsungkan justru karena permohonan amat sangat dari sang Ibu, “Selagi Allah memberikan waktu, Ibu ingin lihat putri terkecil Ibu memakai gaun pengantin.”
Setelah dokter angkat tangan, keluarga membawa Ibu Tari ke rumah. Usia di tangan Tuhan, bisa saja orang yang sedang menanti ajal tiba-tiba menemui kesembuhan, namun Tari dan kakak-kakaknya sudah mati-matian mempersiapkan perasaan merelakan bila tiba saatnya untuk berpisah dengan wanita yang begitu mereka cintai. Begitu pun hampir mustahil rasanya mencapai perasaan seperti itu. Seperti yang Tari rasakan malam ini, ketika ia duduk di samping ranjang ibunya.
“Sayangku,” suara lemah memanggil Tari. “Ketahuilah Nak, di saat-saat akhir hidup manusia, ada rasa penyesalan yang dialami semua orang. Bukan menyesali harta yang hilang, kesempatan yang luput atau jabatan yang beralih ke tangan orang. Bukan itu, Nak. Penyesalan yang dirasakan orang saat akhir hidupnya telah terlihat adalah menyesali betapa singkatnya waktu yang telah ia lewatkan bersama anak, suami dan saudara-saudaranya…”
“Ibu,” panggil Tari dengan mata berkaca-kaca, mencoba meminta ibunya agar beristirahat.
“Jangan minta Ibu tidur, Sayangku. Sebab inilah malam terakhir kamu arahkan baktimu untuk Ibu. Mulai besok, baktimu harus kau berikan untuk suamimu.”
Isak tangis terdengar pelan-pelan dari mulut Tari.
“Jangan menangis, berbahagialah. Tidak semua wanita mendapat suami shalih seperti Hari.”
Tari mengangguk, mengusap air mata dan mencoba tersenyum.
“Dengar wasiat ibu, Sayang: bila Allah Mengizinkan, kelak rumahmu akan diberkahi dengan anak-anak yang lucu. Namun sebelum menjadi seorang Ibu, jadilah dulu istri yang baik. Tidak bisa seorang wanita menjadi ibu yang baik tanpa menjadi istri yang baik. Nah, dengarlah: dalam diri setiap laki-laki tersembunyi seorang anak. Kelak kamu akan bisa melihatnya bila suamimu baru tiba di rumah dari tempatnya bekerja. Ia akan minta ini dan itu, persis seperti anak-anak. Jadi dalam diri seorang istri yang baik sudah pasti tersembunyi diri seorang ibu. Itulah pekerjaan utama seorang istri, Nak. Mendapatkan seorang suami adalah suatu berkah, namun menjaganya seumur hidupmu adalah pekerjaanmu. Lakukan pekerjaanmu itu dengan baik, minimal seperti yang dulu Ibu lakukan pada Almarhum Ayahmu selama 40 tahun.”
Tari mengangguk, air matanya menetes lagi. Ibu mengusap tetesan itu sambil menambahkan, “Suami dan istri itu seperti tangan dengan mata. Bila tangan terlukai, mata akan menangis. Bila mata menangis, tangan akan menghapuskan air matanya. Sayangku, bila suatu saat nanti kegelapan mendatangi rumah tanggamu, jangan usir dia dengan kegelapan lagi. Sebab kegelapan hanya bisa diusir dengan cahaya. Jangan usir kebencian dan amarah dengan kebencian dan amarah juga. Keduanya hanya bisa dienyahkan dengan cinta dan kasih sayang…”
Di tempat lain, Hari ditemui oleh kakak laki-laki satu-satunya. Sang Kakak menyerahkan sebuah amplop ke tangan Hari, “Saat Kakak menikah, Ibu menitipkan wasiat ini untuk Kakak baca. Saat itu Ibu berpesan agar memberikannya padamu bila tiba waktunya kamu untuk menikah juga…”
Hari menerima amplop itu dengan haru, terkenang ibunya yang kini telah tiada. Amplop itu berisi kertas berisi tulisan tangan khas ibunya.
“Anakku,” bunyi surat itu mulai terdengar seperti suara Ibu di telinga Hari. “Menjadi seorang suami dan seorang ayah adalah dua sisi mata uang. Seorang suami yang baik adalah ayah yang baik dan ayah yang baik adalah suami yang baik. Wasiat Ibu di hari pernikahanmu ini sederhana saja: Seorang laki-laki yang bijak tidak akan pernah menyuruh istrinya untuk diam, dia akan memberi tahu istrinya: betapa cantiknya kamu bila bisa menjaga perkataan kamu.”
Kakak Hari menepuk bahu adiknya itu, lalu berkata sambil tersenyum, “Itulah kunci kebahagiaan rumah tangga Kakak selama ini.”
Hari mengangguk, kini ia merasa lebih siap memasuki jenjang pernikahannya.
Tiga hari setelah pernikahan berlangsung, Ibu Tari meninggal dunia. Saat itu Tari ingin menceritakan wasiat ibunya pada Hari. Namun tak jadi ia lakukan, sebab setelah berpikir sejenak, ia berkata pada dirinya sendiri, “Wasiat itu bukan untuk suamiku, tapi untukku. Ibu pasti setuju bila wasiatnya itu untuk diamalkan, bukan untuk dikatakan.”
Hari juga tidak pernah menceritakan surat wasiat ibunya pada Tari, ia hanya melaksanakannya dengan baik. Itulah yang membuat mereka berdua dapat mengayuh biduk rumah tangga dengan mantap sejak sedini mungkin. Seakan keduanya tahu bahwa di tengah lautan ada sebuah pulau dimana anak-anak mereka menunggu untuk dilahirkan dan dididik menjadi orang-orang hebat berkat kedua orangtua mereka yang rukun dan saling menyayangi.

Kak Eka Wardhana – Penulis

TEMANKU, SI PIPI BULAT

Baru saja pindah ke sekolah baru, Riki langsung populer. Maklum, dia tampan, cukup tinggi untuk anak kelas 2 SMP, pintar, gaul dan jago gambar pula. Apalagi sekolah barunya ini adalah sekolah inklusi dengan jumlah siswa yang tidak terlalu banyak. Bergaul dengan teman yang lebih sedikit tentu lebih mungkin mendapatkan interaksi yang lebih akrab. Makanya Leni heran melihat hari ini anaknya itu pulang uring-uringan.
“Ada apa Rik? Baru seminggu sekolah sudah cemberut begitu. Kemarin kamu bilang sekolah baru ini mengasyikkan! Ingat?”
“Semua mengasyikkan kok, Bu. Semuanya, kecuali satu…”
“Apa itu?”
“Bukan apa tapi siapa.”
“Oh, siapa itu?”
“Siapa lagi kalau bukan Abdu si Pipi Bulat.”
“Apa yang salah dengan Abdu?”
“Kata teman-temanku yang lain, dia itu dulunya autis. Sekarang sih sudah mulai normal berkat sistem sekolah baruku yang hebat dan baik itu. Tapi yang bikin aku sebel, dia ikut aku terus. Kemana aku pergi, dia selalu ada di dekatku. Nempel kayak perangko gitu lho, Bu! Terutama setelah aku memperlihatkan gambar-gambarku.”
“Itu tandanya dia ingin berteman dengan kamu, Rik.”
“Tapi caranya agak maksa gitu.”
“Dulu ingat nggak, sampai kelas 5 SD sebenarnya kamu pemalu dan amat tidak gaul?”
Riki mengangguk pelan.
“Kamu ingat saat itu Ibu bilang apa supaya kamu akhirnya punya teman?”
“Saat itu Ibu bilang agar aku jangan mencari teman, tetapi bersedialah menjadi teman.”
“Nah, kalau begitu kenapa kamu sekarang tidak bersedia menjadi seorang teman buat Abdu?”
Riki tidak punya jawaban, jadi dia diam saja. Leni duduk di hadapan Riki, menatap wajah putranya lekat-lekat dan berkata, “Ingat, hal yang paling indah dari sebuah pertemanan adalah saat kamu mengerti orang lain dan dimengerti oleh orang lain. Ketika kamu merasa bahagia karena dimengerti oleh orang lain, janganlah lupa untuk selalu ingat bahwa ada waktunya nanti kamu harus bersedia untuk mengerti orang lain.”
“Jadi aku harus berteman sama Abdu?”
“Setidaknya kamu terima dia apa adanya, jangan menghindar-hindar berlebihan atau melakukan hal yang menyakiti perasaannya. Apalagi dia baru mulai sembuh dari autismenya. Kamulah yang wajib lebih mengerti dia dibanding sebaliknya.”
Riki mendesah, tapi akhirnya mengangguk juga.
Bertahun-tahun kemudian, Riki tersenyum mengenang percakapan dengan ibunya itu. Saat itu ia sedang duduk di depan barisan orang yang antri meminta tanda tangannya. Di belakangnya terpampang poster back-drop besar dengan tulisan: Launching Komik Terbaru Seri Muslim Gaul. Riki sangat bersemangat karena ini barulah launching di dalam negeri. Dalam satu bulan ke depan, ia akan berkeliling ke beberapa negara untuk melakukan launching komiknya dalam bahasa Inggris dan Melayu.
Riki menoleh ke samping, melihat Abdu yang juga sedang bersiap-siap menandatangani komik mereka. Berkat ide-ide cerita luar biasa dari benak Abdu lah, komik yang Riki gambar akhirnya mendapat sambutan demikian luas. Sampai perencanaan pembuatan filmnya pun sudah dibuat segala. Kesuksesan ini menimbulkan sebuah kesimpulan: seluruh ilmu akademis yang ia dan Abdu peroleh sampai lulus kuliah hanyalah bersifat penunjang. Sedangkan persahabatan merekalah yang akhirnya menentukan segalanya.
Sambil tersenyum cerah pada Abdu, Riki teringat kata-kata olahragawan favoritnya, Muhammad Ali, yang bilang, “Persahabatan bukanlah sesuatu yang kamu pelajari di sekolah. Tetapi jika kamu tidak pernah belajar tentang arti sebuah persahabatan, kamu benar-benar tidak mempelajari apa-apa.”
“Siap untuk memberikan tanda tangan, Sobat?” Riki bertanya.
Dengan mata berbinar khas yang tidak pernah berubah sejak mereka bertemu, Abdu menjawab sambil tersenyum lebar, “Siap, Sobat!”

SI ANAK PEMURUNG DAN PENDIAM

“Selamat belajar, Ratih. Nanti sore Mama jemput ya,” ujar Gladis ceria pada putrinya.
Ratih, gadis kecil kelas 6 SD itu tak menjawab. Tersenyum pun tidak. Ia turun dari mobil dan melangkah memasuki gerbang sekolah dengan mata menatap lekat-lekat ujung sepatu. Agak kontras dengan keadaan sekelilingnya, dimana anak-anak kebanyakan berlari di sekitar gerbang, saling panggil, tertawa dan terpekik riang di sana-sini.
Gladis menatap suaminya yang duduk di belakang setir. Tino membalas tatapan itu, “Ada apa, Mah?”
“Papa ingat tidak, dulu Ratih kan termasuk anak yang periang. Tetapi beberapa bulan belakangan ini ia jadi berubah 180 derajat. Kita harus melakukan sesuatu, Pa.”
Tino menjalankan mobil perlahan, lalu menjawab pelan dalam kebingungannya, “Ya, pasti. Tapi bagaimana?”
Gladis juga tidak tahu harus bagaimana, tapi ia tahu langkah pertamanya adalah mengajak Ratih bicara. Ia yakin bila langkah pertama sudah diambil, langkah-langkah selanjutnya akan terlihat dengan sendirinya…
Namun memang betul apa yang dikatakan orang, langkah pertama itulah yang tersulit. Baru mulai ditanya saja, Ratih langsung bersikap seperti seorang tertuduh. Ia memilih untuk lebih banyak diam, menunduk dan menolak menghadapkan tubuh ke ibunya. Gladis menghela napas, namun ia tidak menyerah.
“Ratih Puspadewi,” panggilnya pelan. “Kenapa anak Mama yang cantik ini sekarang jadi pemurung dan pendiam?”
Rasanya Gladis belum pernah mengerahkan seluruh kesabaran dan strategi selama hidupnya sebesar saat ia berusaha mencoba membuat anaknya bicara. Siapa bilang jadi orangtua mudah? Akhirnya suara Ratih terdengar juga. Berusaha memancing Ratih bicara memang berat, namun ternyata lebih berat lagi saat mendengar suaranya…
“Aku takut mengecewakan Papa dan Mama…. Nanti pas bagi raport, Papa dan Mama pasti kecewa… Pe-ernya terlalu banyak… Aku benar-benar tidak mengerti matematika… Aku selalu diejek teman-teman karena nilaiku paling jelek…” dan bla-bla-bla yang sejenisnya.
Gladis terhenyak, ia seperti petinju yang baru saja dipukul KO. Berusaha dengan sia-sia mencerna rombongan informasi yang baru didengarnya. Kini justru dia yang tak dapat berkata apa-apa.
“Seberat itukah masalahnya?” pikir Gladis.
“Mengapa baru sekarang aku tahu dan menyadarinya?”
Pikiran kedua ini membuatnya merasa amat bersalah. Setelah semalaman penuh tidak tidur dan membasahi permukaan bantalnya dengan air mata, esoknya Gladis mulai bergerak. Ia melakukan googling, bertanya, curhat, membaca dan mengajak diskusi pada siapa pun yang dianggapnya bisa membantu. Beberapa hari dalam kerja keras sampai akhirnya ia tiba pada satu kesimpulan sederhana. Begitu sederhana sampai ia tidak bisa menemukannya dari awal: Ratih sedang merasa tidak bahagia.
Maka perlahan-lahan dialog pun dibangun. Ketika Ratih mulai merespon, terjadilah tanya-jawab yang mulai tajam dan mengarah pada penyelesaian…
“Ratih, tahukah kamu kenapa Allah SWT membuat kita hidup?”
“Untuk berbuat sesuatu yang berguna, mungkin?”
“Benar, tepatnya: untuk membuat kita bahagia.”
“Tapi bagaimana Ratih bisa bahagia kalau hidup itu penuh masalah, Ma?”
“Karena kebahagiaan bukan terletak di luar, dimana semua masalah berada. Kebahagiaan ada di dalam hati kamu. Satu-satunya cara untuk berbahagia adalah berhenti merasa khawatir terhadap segala sesuatu yang berada di luar kemampuan kita.”
“Jadi aku tidak apa-apa kalau matematikaku jelek?” suara Ratih terdengar ragu.
“Kekuatan yang diberikan Tuhan padamu pastinya bukan di matematika, Nak. Bergembiralah kamu dengan apa yang kamu punya. Bersenanghatilah kamu dengan dirimu apa adanya. Maka kebahagiaan akan datang tanpa dicari.”
“Sungguh?!”
Gladis mengangguk sambil tersenyum. Maka Ratih pun memeluk ibunya erat-erat. Walau wajah Ratih terbenam dalam-dalam di dadanya, Gladis tahu buah hatinya itu sedang tersenyum lega.

DUA JENIS AIR MATA

Saat itu masih beberapa tahun sebelum handphone dikenal orang. Jadi Tasya dan adiknya, Sisha, berkomunikasi lewat surat yang mereka selipkan ke bawah pintu kos masing-masing. Itu pun bila keduanya tak sempat bertemu. Biar bagaimana, mengobrol sambil bertatap muka kan lebih asyik. Sayangnya mereka tak bisa sering bertemu. Keduanya kuliah di universitas yang berbeda sehingga tempat kos mereka pun berjauhan. Hari ini Tasya menginjak surat dari Sisha saat membuka pintu.
“Dia datang terlalu pagi lagi,” pikir Tasya sambil tersenyum menyayangkan dan segera membuka lipatan surat.
Senyumnya lenyap lebih cepat dari kedipan mata. Surat paling pendek yang pernah ditulis Sisha untuknya itu berbunyi, “Kak, pulang. Tadi pagi Mama kena stroke.”
Sore sampai hampir malam itu, sepanjang perjalanan dengan bus menuju kota asalnya, air mata Tasya terus mengalir. Entah berapa lembar tisu yang ia habiskan untuk mengeringkannya. Namun itu belum seberapa, tiba di rumah hampir tengah malam, ketakutan terburuknya menjadi kenyataan: Mama telah meninggal dunia satu jam sebelumnya…
Esok siang, sepulang dari pemakaman, Tasya memeluk Sisha dan menghabiskan seluruh air matanya yang tersisa. Anehnya Sisha tidak tampak banyak menangis. Justru ia yang bertindak menenangkan kakaknya. Posisinya terbalik, sebab menurut kelaziman, kakak harusnya yang lebih tabah dalam menghadapi musibah. Sedikit tergugah oleh pemikiran ini, Tasya memandangi wajah adiknya. Sisha juga tampak habis menangis, tapi mata adik semata wayangnya itu tidak sampai sembab seperti matanya. Mengira Sisha belum menyadari gawatnya keadaan yang mereka hadapi, Tasya pun berkata, “Sisha, kamu baru kuliah semester kedua dan Kakak baru semester keempat. Kini Mama sudah tidak ada menyusul Papa. Kita berdua sebatang kara. Siapa lagi menurutmu yang bisa membiayai kuliah kita, Dik?”
Sisha menggeleng pelan, wajahnya polos, tetapi tetap tak ada air mata yang jatuh. Melihat keluguan itu, Tasya kembali menangis, kali ini sambil meraung malah. Tasya mengira tangisannya ini bisa membuat Sisha akhirnya sadar, lalu ikut menangis. Namun di luar dugaan, Sisha malah memeluk erat dirinya, lalu berbisik dengan suara yang begitu tenang, sampai Tasya merasa seolah-olah bukan adiknyalah yang berkata, “Kak, kita memang sebatang kara, tapi kita masih memiliki satu sama lain. Walaupun sekarang keadaannya berat, tapi jangan lupa kalau kita adalah mahasiswi berprestasi. Mulai sekarang kita bisa kuliah sambil mengajar. Pasti kepandaian kita diperlukan di tempat-tempat bimbingan belajar yang membutuhkan. Kita juga bisa mudah meraih kesempatan beasiswa setelah melalui semester keempat nanti….”
Tasya berhenti menangis, menatap adiknya itu dan samar-samar mulai mengerti mengapa adiknya bisa menahan air matanya. Dalam keadaan terpuruk begini, Sisha sudah menemukan jalan keluarnya, sementara dirinya masih berkutat dalam kubangan kesedihan.
Beberapa waktu setelah itu usul Sisha mereka jalankan. Namun kenyataan tidaklah secerah harapan. Walau sudah mengajar, mendapat beasiswa, ikut proyek dosen dan sesekali membantu perusahaan event organizer amatir, biaya kuliah masih sukar dipenuhi. Bahkan walau ditambah sedikit-sedikit dari para saudara jauh yang merasa iba. Mahalnya biaya itu terutama untuk memenuhi keperluan praktikum. Akhirnya mereka memutuskan hal terberat yang bisa dilakukan: Sisha untuk sementara waktu mengambil cuti kuliah untuk full bekerja mengumpulkan dana. Sementara Tasya yang jaraknya tinggal kurang 3 semester lagi dari kelulusan, akan melanjutkan kuliahnya. Dengan harapan, bila Tasya lulus nanti dan bekerja, gantian ia yang bisa membantu Sisha untuk meneruskan kuliah….
Tasya mengenang kejadian bertahun-tahun lalu itu dengan perasaan campur aduk. Kini ia dan Sisha telah berhasil membangun sebuah perusahaan sendiri yang bergerak di berbagai bidang: pendidikan, peternakan, dan kuliner. Berkat kegigihan mereka dulu bekerja di berbagai bidang sambil kuliah, banyak keahlian yang ternyata bisa dimanfaatkan menjadi lapangan pekerjaan bila dikelola dengan baik. Hari ini untuk pertama kalinya, perusahaan mereka akan memberikan bea siswa kepada beberapa puluh siswa dan mahasiswa tak mampu.
Saat berbincang-bincang dengan para penerima beasiswa, air mata Sisha berkali-kali terlihat berlinang. Tampak sekali ia merasa iba pada anak-anak itu. Sambil berbisik, Tasya bertanya heran, “Dulu saat kita yang memerlukan biaya kuliah, kamu tidak menangis, Dik. Sekarang, justru setelah kita yang mampu memenuhi kebutuhan orang untuk kuliah, kamu malah menangis berember-ember. Kenapa begitu?”
Sisha menyusut air matanya, lalu menatap kakaknya penuh kasih sayang, “Kakak lupa ya, Mama dulu mengajarkan bahwa di dunia ini hanya ada 2 jenis air mata: air mata untuk diri sendiri dan air mata untuk orang lain. Air mata untuk diri sendiri menandakan kelemahan. Sedangkan air mata untuk orang lain menandakan kekuatan. Dulu maupun sekarang, aku hanya ingin menjadi kuat, seperti pesan Mama itu.”
Tasya balas menatap adiknya itu dalam-dalam dengan perasaan sayang yang sangat besar…

Eka Wardhana – Penulis

INILAH INTEGRITAS, ANAKKU…

CIIIT! Bunyi rem mendecit. Lalu terdengar bunyi yang menjadi konsekuensi logis kelanjutannya: BRAAAK!
Tubuh Rian sampai terdorong ke depan. Ucapan refleksnya seketika terucap, “Astaghfirullah…!”
Ia turun dari mobil dan mendapati bemper belakangnya ringsek terhantam keras sebuah sepeda motor. Dilihatnya si pengendara motor berusaha membangunkan motornya yang ringsek parah di pelek roda. Dalam hati Rian tahu bahwa ia adalah korban. Mobilnya telah berhenti tanpa gerakan mendadak beberapa detik sebelum dihantam. Jelas pengendara motor itu tidak mampu mengantisipasi keadaan di depan dan mengerem terlalu dekat.
“Bapak tidak apa-apa?” tanya Rian pada pengendara motor yang jelas-jelas umurnya lebih tua belasan tahun dibanding dirinya yang baru berusia 22 tahun. Namun sapaan bersahabatnya tidak bersambut baik, semburan caci-maki keluar dari mulut si Bapak. Ia memang tidak terlihat luka, hanya lutut celana dan bagian tangan jaketnya yang robek, namun keadaan sepeda motornya membuat ia seperti kehilangan akal.
Rian menahan kepalan tangannya sekeras ia menahan emosi yang mengembang dengan cepat hingga hampir meletus. Setelah emosinya terkendali, Rian bertanya biasa, walaupun di luar kemauannya, nadanya sedikit mulai meninggi, “Lho, bukannya Bapak yang menabrak saya? Kenapa jadi Bapak yang marah begini? Bapak lihat kan, mobil saya juga tidak kalah parah rusaknya?”
Pertanyaan itu justru dijawab dengan semburan makian yang kali ini disertai tatapan garang dan sikap yang lebih agresif: si Bapak maju ke arahnya dengan tangan terkepal. Rian menahan kepalan tangannya tetap di samping paha, tidak mengangkat keduanya di depan dada dan muka seperti yang diajarkan sebagai pose standar bertarung dalam Thifan, ilmu bela diri yang telah dipelajarinya sejak berusia 10 tahun. Ia hanya menatap tajam ke kedua mata lawannya, begitu tajam seolah menembus tengkorak belakang kepala. Tatapan ini berhasil menghentikan langkah lawannya. Berdasarkan pengalaman bertahun-tahun, Rian dapat menduga kemampuan lawannya. Ia yakin hanya diperlukan satu gerakan mengelak atau menangkis yang disusul beberapa jurus serangan cepat beruntun untuk melumpuhkan lawannya dalam kekerasan.
Namun agar semua jurusnya efektif, ia harus berada dalam keadaan tenang. Sedikit saja emosinya meletup, keseimbangannya terganggu dan semua gerakannya akan berada di luar kontrol. Dalam hati ia amat bersyukur dan berterima kasih pada ayahnya. Ayahnya itulah yang dahulu gigih mendorongnya berlatih Thifan. Bahkan ayahnya sampai ikut berlatih bersama, padahal saat itu usianya sudah mendekati akhir 30-an.
Sejauh yang Rian ingat, sejak kecil ia memang agak temperamental. Sedikit saja orang bicara atau bersikap salah, ia akan merasa tersinggung. Sialnya, ia tidak dikaruniai tekad dan tubuh yang kuat. Setiap tersinggung, yang ia bisa hanya bisa menahan air matanya yang terasa panas. Sekalipun ia kadang balas memaki, namun bila diserang balik, ia hanya bisa diam dengan mata memerah. Walaupun termasuk tinggi untuk anak seusianya, namun tubuhnya terlalu kurus untuk diajak berkonfrontasi. Ketika sang ayah mengajaknya berlatih Thifan, hati anak-anaknya sempat berharap sebentar lagi ia akan menjadi jagoan yang bisa mengalahkan siapapun yang menyinggungnya. Namun latihan bela diri ternyata sangat berat. Latihan sepulang sekolah sungguh merupakan siksaan melelahkan. Setelah beberapa bulan berlatih, ia sempat mogok. Ayahnya datang mengajaknya bicara, “Rian, menurut kamu penting nggak sih anak laki-laki berlatih bela diri?”
Rian hanya bisa diam. Ia tidak punya argumen untuk membantah, jadi sikap diamnya berarti jawaban: “Ya”.
“Kalau penting, berarti kita harus melakukannya,” lanjut sang Ayah. “Kamu lihat, bagi ayah yang sudah berusia segini, latihan bela diri terasa sangat berat juga. Namun ayah masih mau melakukannya. Kamu tahu kenapa?”
Diam lagi.
“Karena laki-laki harus punya integritas, Nak,” lanjut Ayah. “Integritas itu artinya kamu melakukan apa yang harus kamu lakukan. Baik itu terasa ringan atau berat. Baik itu disaksikan orang maupun tak ada orang yang menyaksikan.”
Ajaran tentang integritas ini tertanam dalam benak Rian sampai sekarang. Setiap kali ia enggan, ia ingat ini. Akhirnya latihan Thifannya berlanjut, kursus bahasa Inggrisnya berlanjut, dan hal-hal lain yang tadinya terasa berat pun berlanjut. Thifan membuatnya bisa mengendalikan diri setiap emosinya hampir meletus. Kemampuan itu membuatnya sering merasa lebih bijak dibanding orang-orang yang jauh lebih tua. Seperti kejadian hari ini.
Berkat ketenangan Rian, masalah pun selesai. Si Bapak pengendara motor yang tidak mau mengakui kesalahannya pun bisa dibuat tenang setelah Rian setuju ikut membayar sebagian ganti rugi. Rian tahu mobilnya akan bisa mulus kembali berkat asuransi all-risknya. Lalu sambil mengendara pulang, Rian ingat kata-kata ayahnya, “Ayah akan merasa berhasil sebagai seorang ayah, bila anak-anak Ayah teringat pada Ayah saat mereka sedang memikirkan sebuah hal berguna.”
“Ayah adalah ayah yang berhasil, sikapku yang tenang pada hari ini adalah buktinya,” bisik Rian, mengenang ayahnya yang sudah meninggal 2 tahun lalu. “Aku memilih untuk mengalah di saat aku bisa menang, aku memilih untuk tenang di saat nafsu berteriak memintaku untuk mengamuk. Tanpa berlatih dengan baik, aku pasti tak punya semua itu. Bila dulu Ayah tak mendorongku, hari ini aku yang tanpa ketenangan dan kemampuan, mungkin sudah habis dipukuli, padahal aku tidak bersalah.  Semua itu terelakkan karena aku telah mampu menjadi orang yang berintegritas seperti yang dulu Ayah ajarkan. Terima kasih, Ayah…”

 

Eka Wardhana- Penulis