CERMIN PARA IBU

Ini adalah malam terakhir Lomba Tingkat Penggalang. Lili menarik napas lega. Sebagai pembina Gugus Depan sebuah SMP negeri tempatnya bekerja menjadi guru, ia telah mendampingi anak-anak didiknya 5 malam penuh. Benar-benar berat, selama 5 hari 5 malam anak-anak pramuka putrinya melaksanakan kemping sekaligus berlomba ketangkasan dan wawasan melawan anak-anak sebaya mereka di tingkat kabupaten. Lili merasa haru sekaligus bangga pada mereka. Ia melirik jam di tangannya, lalu berkata dalam hati, “Pukul 10 malam. Anak-anak harus sudah tidur biar tidak terlalu capek. Sebelum pulang, besok pagi mereka masih harus memasak sarapan, membereskan tenda, mengikuti upacara penutupan dan melakukan operasi semut.“
Ia melangkah dari lokasi tenda pembina putri menuju tenda tempat murid-muridnya berada. Onggokan kayu bakar masih menyala di lapangan. Sisa acara api unggun perpisahan yang baru selesai 1 jam yang lalu itu dibiarkan mati dengan sendirinya, tak seorang pun merasa perlu untuk memadamkannya. Lili tersenyum, ia ingat almarhum ibunya yang suka berteriak bila melihat api menyala, “Lili, biasakan tidak meninggalkan api menyala. Matikan dahulu, biar aman!”
Lili memasuki pekarangan tenda tempat pasukan putrinya berada. Regu Mawar memasang 2 tenda kembar. Setiap tenda diisi 5 orang anak. Tenda di sebelah kanan terlihat gelap dan sepi, namun lampu badai masih dinyalakan di dalam tenda sebelah kiri. Lili tersenyum dan menggeleng, namun langkahnya terhenti mendengar suara-suara dari dalam tenda. Ada 5 anak perempuan berusia antara 13-14 tahun yang menghuni tenda tersebut: Gea si Kepala Regu, Ani si jago sandi, Mutia yang ahli tali temali, Aisyah si bendahara dan Nida si ahli masak rimba.
“Yes! Akhirnya kita juara umum!” terdengar Gea berseru. “Bedanya cuma 1 medali emas dengan regu Dahlia di tempat kedua!”
“Ya, ini berkat Nida yang meraih emas dalam masak rimba di lomba terakhir!” timpal Aisyah.
“Iya sih,” ujar Nida malu. “Tapi semua juga berjuang. Kebetulan saja aku yang berlomba terakhir dan menang.”
Sejenak tak ada suara, tapi Lili bisa membayangkan 5 wajah yang sedang tersenyum puas.
“Besok kita pulang, aku sudah kangen sama ibuku,” kata-kata Mutia itu mendadak membawa suasana rumah ke dalam tenda. “Kalo menurut aku sih, orang yang paling berjasa di balik keberhasilan kita adalah ibu-ibu kita.”
“Aku kayaknya setuju banget,” timpal Gea. “Ayahku saja pernah bilang: Gea, semua anak itu tergantung pada ibu mereka. Mereka bisa pintar atau bodoh, sukses atau gagal adalah karena jasa ibu.”
“Jelas saja, ibu kamu kan pintar, Ge,” timpal Aisyah. “Ibuku sih hanya ibu rumah tangga biasa. Tapi sibuknya melebihi ibu-ibu yang kerja di kantor. Aku rasa seharusnya ibuku punya tangan empat agar tugas-tugasnya setiap hari bisa selesai.”
Terdengar tawa sebentar, lalu Mutia berkata, “Nggak masalah kan? Aku malah lebih salut pada ibu yang bekerja di rumah. Mama aku pernah bilang: ibu yang bekerja di rumah itu lebih capek, soalnya jam kerjanya 24 jam. Sudah gitu nggak ada cuti dan libur tahunan!”
“Mau ibu kalian bekerja dimana kek, yang jelas kayaknya kalian enak deh punya ibu baik-baik, kalo ibuku galak banget,” keluh Nida. “Kalau aku salah dikit, pasti diomelin! Malah pernah aku dicubit dan dijewer.”
“Tapi kata aku sih itu nggak masalah, Nid,” Mutia mencoba menghibur. “Tiap ibu itu cuma caranya saja yang beda-beda, tapi maksudnya sama: agar anak-anaknya pintar dan shalih. Bisa jadi ibu kamu suka mencubit dan ibu aku suka memeluk, tapi kedua-duanya pasti sangat sayang pada kita!”
“Kalian beruntung masih punya ibu,” suara lirih itu dari Ani si Pendiam.
Suasana hening sejenak, lalu Gea bertanya pelan, “Bagaimana rasanya saat ibu kamu meninggal, Ani?”
“Rasanya seperti tanah yang kamu injak tiba-tiba menghilang,” ujar Ani. “Sewaktu ibuku masih ada, aku sama sekali tidak mengira ia akan meninggal. Saat tiba-tiba ia nggak ada, rasanya aku melayang-layang di ruangan gelap dan kosong sendirian.”
Lili mendengar anak-anak yang lain menghibur dengan kata-kata: ibu kamu tetap lihat kamu dari surga, dan sejenisnya. Tiba-tiba Lili merasa ia tak layak berada di situ dan mendengar semua pendapat pribadi yang hanya dilontarkan pada para sahabat terdekat.
Lili mengurungkan niatnya untuk menyuruh mereka segera tidur. Ia berbalik dan melangkah pergi. Ditatapnya bulan purnama di langit. Ia sadar, seperti bulan yang memantulkan sinar matahari, ia baru saja mendengar cerminan diri para ibu melalui mulut anak-anak mereka. Ia tidak keberatan tidak disebut sama sekali sebagai orang yang berjasa mengantarkan anak-anak itu meraih kemenangan kali ini. Meski ia telah melatih dan mempersiapkan mereka 2 bulan penuh dengan mengorbankan semua waktu serta menguras habis seluruh kemampuan. Lili mengerti, seorang ibu memiliki arti yang sangat besar bagi tiap anaknya. Ia teringat kata-kata Andrew Young, “Para pahlawan tak dikenal dalam setiap gerakan rakyat sebenarnya adalah para istri dan para ibu.”
Lili tertegun, 3 minggu lagi ia akan menjalani pernikahannya sendiri. Setelah itu ia pun akan menjadi seorang ibu bila Tuhan mengizinkan. Ia merasa tak salah telah menerima Raihan sebagai calon suaminya. Ia telah lihat betapa baik Raihan memperlakukan ibunya. Lili merasa mendengar lagi nasihat almarhum ibunya menggema, “Laki-laki yang menghormati ibunya akan menghormati wanita yang menjadi istrinya.”