SLOW DOWN …

Slow down, Ayah dan Bunda. Mungkin kita terlalu dalam menekan gas sehingga rumah tangga kita berjalan terlalu kencang. Mungkin kita terlalu ingin cepat sampai pada tujuan padahal para penumpang kita sudah merasa tidak nyaman dan ingin beristirahat. Mungkin masih banyak target materi yang ingin kita punya sementara waktu mengalir secepat motornya Valentino Rossi. Mungkin kita terlalu bernafsu melihat anak-anak kita bisa ini dan itu sementara kita lupa bahwa pohon hanya bisa berbuah bila melewati prosesnya dengan benar. Mungkin… mungkin… mungkin… apapun itu, Ayah dan Bunda, perlahanlah sejenak. Slow down…

Ketika kecepatan berkurang, ke tepilah dan istirahat. Inilah saatnya menatap wajah pasangan dan anak-anak kita sambil tersenyum dan bilang, “Bagaimana perjalanan kita? Seru kan?”

Ayah dan Bunda, bagaimana pun harus selalu ada waktu untuk orang-orang yang kita cintai. Di saat bersama itu kita bisa berharap Allah akan mengembalikan kekuatan kita dan merefresh visi hidup kita. Ingat saja apa yang Mitch Albom bilang, “Satu hari yang kau habiskan bersama orang yang kau cintai bisa saja mengubah segalanya.”

Mungkin kita bisa merenungi beberapa bagian dari puisinya William Henry Davies:

Apalah artinya hidup, yang katanya penuh dengan kasih sayang,

Bila kita tidak punya waktu untuk berdiri dan memperhatikan?

Kita tak punya lagi waktu sekadar berdiri di tepi pagar

Dan menikmati padang rumput seperti yang dilakukan domba dan sapi-sapi.

Kita tak punya lagi waktu memperhatikan pepohonan yang kita lewati setiap hari,

Tempat dimana para tupai menyembunyikan persediaan kacang.

Kita tak punya lagi waktu memperhatikan betapa luasnya langit siang,

Atau betapa penuhnya bintang di langit malam.

Tak punya lagi waktu menoleh ke anak-anak kita,

Dan mengamati bagaimana kaki mereka sudah bisa menari.

Tidak punya lagi waktu untuk menunggu

Bagaimana senyum dan mata ketawa anak-anak mulai terbentuk di wajah mereka.

Betapa malangnya hidup ini, yang katanya penuh dengan kasih sayang,

Bila kita tidak punya waktu untuk berdiri dan memperhatikan.


Ayah dan Bunda, hari-hari bersama anak-anak dan keluarga adalah hari-hari terindah kita. Maka buat rutinitas kita slow down, lalu habiskan waktu bersama mereka. Simak saja syair lagu anak-anak berjudul “A Beautiful Day” ini…

Lihat matahari bersinar di jendela, inilah waktu untuk memulai hari yang baru…

Tidakkah kamu dengar burung bernyanyi, aku pun akan ikut bernyanyi sekerasnya dan bilang:

“Inilah hari yang indah, tempat kita berlari di bawah sinar matahari.

Hari yang indah ini baru saja dimulai.

Hari indah untuk melakukan sesuatu yang ingin kulakukan… Ahahaa…

Hari yang indah, bahkan untuk sekadar hidup.

Hari yang indah yang benar-benar membuatku bahagia.

Dan izinkan aku membaginya bersamamu…”

                Selamat menikmati hari indah bersama anak-anak dan keluarga, Ayah dan Bunda….

ORANG TUA YANG MANAKAH KITA?

Ayah dan Bunda, berikut saya sertakan sebuah tulisan yang menginspirasi. Sayang, nama pengarangnya tidak diketahui…

Ada 2 buah rumah bersebelahan. Masing-masing dihuni oleh sepasang orangtua dan anak tunggal mereka. Alkisah, kedua rumah dan penghuninya pernah mengalami hal-hal yang persis sama, namun efeknya jauh berbeda. Bagaimana bisa begitu? Inilah kisahnya…

Di Rumah Pertama, Sang Anak pulang sekolah dan berseru, “Bunda! Ayah! Aku dapat nilai 100 untuk 2 mata pelajaran di sekolah!”

Tanpa ekspresi, Sang Ayah menjawab, “Hanya 2 mata pelajaran? Kenapa bukannya 3 mata pelajaran atau lebih?”

Di Rumah Kedua, Sang Anak pulang sekolah dan berseru, “Bunda! Ayah! Aku dapat nilai 100 untuk 2 mata pelajaran di sekolah!”

Dengan sangat bahagia, Sang Ayah menjawab, “Alhamdulillah! Kamu benar-benar membuat Ayah bangga! Ayah benar-benar bahagia memiliki kamu!”

Di hari berikutnya, dari dapur Rumah Pertama, Sang Anak berseru, “Bunda, aku telah mencuci semua piring kotor bekas makan malam!”

Dengan datar dan tenang, Sang Ibu menanggapi, “Kamu sudah mengepel lantai belum?”

Sementara di Rumah Kedua terjadi hal yang sama ketika Sang Anak berseru, “Bunda, aku telah mencuci semua piring kotor bekas makan malam!”

Sang Ibu tersenyum dan berkata lembut, “Tahu tidak, semakin hari Bunda tambah sayaaang padamu….”

Esok harinya, dari halaman belakang Rumah Pertama, Sang Anak berseru, “Ayah, aku telah memotong rumput. Lalu semua sisa rumputnya telah aku bersihkan!”

Dengan wajah agak masam karena kurang puas, Ayahnya menanggapi, “Terus, kamu tidak membersihkan tanah liatnya sekalian?”

Pada saat yang sama, di Rumah Kedua Sang Anak berseru, “Ayah, aku telah memotong rumput. Lalu semua sisa rumputnya telah aku bersihkan!”

Dengan ceria Ayahnya berseru, “Nak, hari ini kamu telah membuat hati Ayah benar-benar bahagia!”

Dari tiga hari kejadian berturut-turut itu tampak jelas bahwa anak yang hidup di Rumah Kedua lebih bahagia dan percaya diri. Bagaimana bila kejadian seperti itu terjadi terus-menerus setiap hari sampai tahu-tahu para orangtua baru sadar kalau anak mereka telah menjelang dewasa? Tentu perbedaan rasa bahagia dan kepercayaan diri kedua anak di rumah yang berbeda itu semakin besar, layaknya terpisah samudera luas.

Wahai Ayah dan Bunda, setiap anak layak dihargai atas setiap tugas yang mereka kerjakan. Inilah awal mengarahkan mereka pada kehidupan yang lebih bahagia.

Masa depan anak-anak kita, Ayah dan Bunda, begitu banyak tergantung pada cara kita menghargai mereka. Orangtua yang manakah kita ini?

HARI BUKU SEDUNIA, Let’s back to the books

Ayah dan Bunda, banyak dari kita tidak sadar bahwa pada 23 April yang baru lalu adalah hari yang tidak biasa. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sejak tahun 1995 telah menetapkan tanggal 23 April sebagai World Book Day, Hari Buku Dunia. Hari spesial ini diadakan guna mengingatkan kita akan pentingnya kegiatan membaca, pentingnya menerbitkan buku dan pentingnya menghargai karya tulis sebagai hak cipta (copyright).

Sayangnya Ayah dan Bunda, di negara kita gaung hari istimewa itu benar-benar tak terdengar. Padahal buku dan membaca adalah dasar peradaban. Tak ada peradaban besar yang bakal tumbuh bila tidak menyertakan kedua hal tersebut. Bukankah ayat pertama yang turun dari Al-Qur’an pun menyuruh agar kita membaca?

Sudah kita semua pahami Ayah dan Bunda, bahwa anak-anak kita tumbuh sebagai Digital Native Generation, generasi yang sudah sangat akrab dengan dunia digital. Diakui atau tidak, gawai digital telah menyita perhatian anak-anak dari benda kuno dan tua bernama BUKU. Bila televisi ibarat gelombang laut yang menghanyutkan anak-anak dari kebiasaan membaca, gawai digital membuat gelombang itu menjadi tsunami. Berapa banyak lagi yang bisa hidup bila sekelompok turis di pantai dihanyutkan tsunami? Berapa banyak lagi anak yang gemar membaca bila tsunami televisi dan gawai digital telah melanda mereka?

Seorang bijak pernah berkata: TV. Jika anak-anak sudah demikian terhibur oleh 2 huruf itu, bayangkan betapa bahagianya mereka bila memiliki 26 huruf secara lengkap. Bukalah imajinasi anak-anakmu. Bukalah sebuah buku.

Bener banget Ayah dan Bunda, imajinasi adalah salah satu kelebihan buku dibanding televisi dan gawai elektronik. Ketika membaca sebuah buku, anak-anak akan mengerahkan kemampuan otaknya untuk membayangkan, mengimajinasikan dan melakukan reka-ulang adegan dari cerita. Hal itu benar-benar melatih otak untuk kelak dapat melahirkan banyak imajinasi kreatif. Bahkan bila buku tersebut disertai banyak gambar dan berwarna, mereka masih bisa mengimajinasikan gerakan dan suara di dalam benak. Berbeda dengan televisi dan gawai digital dimana anak-anak menjadi penonton pasif karena gerakan, suara dan bentuk para tokoh cerita telah dihadirkan secara lengkap.

Ayah dan Bunda, Charles W. Eliot pernah menulis: Buku-buku adalah teman yang paling tenang dan setia. Sebab mereka mudah dimintakan nasihat dan merupakan penasihat yang paling bijak. Buku-buku juga merupakan guru yang paling sabar.

Jadi buku-buku sebenarnya bukan sekadar benda mati biasa, mereka bisa hidup dalam benak pembacanya. Saya sungguh berharap dan berdoa agar budaya membaca yang belum pernah tumbuh di negara ini sebelum datangnya tsunami digital, masih bisa tumbuh di tengah gelombang dahsyat tersebut. Tanpa kesertaan buku dan kecintaan membaca, kita akan menjadi buih, sementara orang-orang lain menjadi ombaknya.

Ayah dan Bunda, bila Anda bingung tentang bagaimana mengubah nasib anak-anak kita menjadi lebih baik, mulailah dengan menanamkan rasa cinta buku dalam benak mereka. Maka Anda akan lihat mereka akan tumbuh menjadi manusia berkarakter yang tak mudah diombang-ambing gelombang zaman.

Mari kembali ke buku dan membaca, Ayah dan Bunda. Kurangi jajan makanan dan belilah buku. Potong anggaran untuk pakaian baru, tambahkan pada dana untuk membeli buku baru. Jangan pernah tenang sebelum kita dan anak-anak telah menjadikan buku sebagai bagian dari kehidupan. Ingatlah kata-kata Joseph Brodsky ini: Ada beberapa kejahatan yang lebih buruk dari membakar buku. Salah satunya adalah dengan tidak membacanya.

by.Eka Wardhana

MENGAJAR ANAK HIDUP TERHORMAT: APA YANG TERJADI SEANDAINYA PARA SAHABAT MELIHAT KEHIDUPAN KITA?

                Ayah dan Bunda, satu lagi berita baik buat kita yang tengah merindukan kebangkitan Islam. Seorang anak Indonesia, La Ode Musa, menjadi pemenang ke-3 Hafizh Qur’an kategori 30 Juz pada MTQ Internasional 2016 (10-14 April) di Mesir. Yang membuat takjub, prestasi itu diraih Musa dengan status sebagai peserta termuda di acara tersebut. Usianya baru 7 tahun, sementara para peserta lain berusia di atas 10 tahun. Hal itu yang membuat Musa mencuri perhatian masyarakat Mesir.

La Ode Musa

Bayangkan deh Ayah dan Bunda, para penonton dan peserta lain sampai berebut minta selfie bersama Musa. Banyak juga orang yang berebut untuk mencium kepala kecilnya. Itulah tanda bila orang Arab menaruh rasa hormat pada orang lain. Betapa tidak hormat, Ayah dan Bunda, saat Musa membacakan hapalannya, banyak orang sampai menangis terharu. Tidak kurang sampai 2 presiden memberikan ucapan selamat padanya. Satu Presiden Indonesia dan satu lagi Presiden Mesir. Bahkan Presiden Mesir sampai takjub melihat betapa anak sekecil itu mampu menghapal 30 Juz Al-Qur’an padahal ia tak bisa berbahasa Arab! Musa sampai kembali diundang ke Mesir saat Ramadhan nanti.

Ayah dan Bunda, itulah kehormatan yang diberikan Allah SWT pada orang-orang yang membuat dirinya hidup terhormat dengan mencintai Kitab-Nya. Saya ingat, beberapa tahun lalu sempat ngetren fenomena tampilnya para balita jenius. Di usia yang tak sampai 5 tahun mereka bisa hapal banyak sekali hal: mulai dari ibu kota negara di seluruh dunia sampai hal-hal yang bersifat biografis. Hal itu juga mengandung kehormatan dan penghargaan, namun sifatnya hanya duniawi. Lagipula tak ada kabar lagi tentang bagaimana prestasi para balita jenius itu sekarang.

                Menurut saya, Ayah dan Bunda, hidup terhormat bagi seorang muslim bukan diukur dari hal-hal yang sifatnya dunia semata, namun diukur dengan sejauh mana kita dan keluarga mampu melaksanakan hal-hal yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bila menghapal seperti Musa saja sudah sedemikian menakjubkan, apalagi bila bisa melaksanakannya. Wajarlah bila Allah menjanjikan Surga buat orang-orang yang membuat dirinya mampu hidup secara terhormat.

Kehormatan adalah hal yang penting diajarkan sejak dini. Kalau tidak, lihatlah sendiri apa yang terjadi sekarang: Siswi-siswi SMU yang saling menukar foto bugil mereka, menggertak polisi dengan memakai nama ayahnya walaupun sudah jelas dirinya melanggar lalu lintas, dan lainnya. Ayah dan Bunda, salah satu cara mengajarkan hidup terhormat pada anak-anak adalah dengan mengenalkan mereka pada cara hidup orang-orang terhormat pula. Siapa lagi orang-orang terhormat yang paling utama selain Muhammad Saw dan para sahabatnya?

Ayah dan Bunda, seperti apa perasaan kita bila ditanyakan: Bagaimana bila Rasul Saw dan para sahabatnya datang ke rumah dan melihat langsung kehidupan kita? Bila kita merasa malu, kiranya cukuplah sebagai permulaan. Itu tandanya kita sudah siap memulai hidup terhormat seperti yang diajarkan generasi terbaik umat Islam itu.

Bagaimana bila ditanyakan dari sudut pandang yang sebaliknya: Seperti apa perasaan para Sahabat Nabi bila melihat kehidupan kita?

Ayah dan Bunda, para sahabat Nabi pun manusia. Jadi saya pikir wajar bila reaksi mereka pun akan beragam. Namun secara umum bisa dikatakan bahwa mereka akan merasa sangat prihatin. Sebab walaupun di masa kini berhala sudah tidak lagi disembah, namun umat Islam masih gandrung kepada hal-hal lain seperti uang, ketenaran, pangkat, ketampanan, kecantikan, musik dan lainnya. Untuk bisa membayangkan bagaimana perasaan para sahabat, kita dapat merenungkan hal-hal yang membedakan kehidupan mereka dengan kehidupan saat ini:

 

Sahabat   Kita  
1.       Harta dunia mengejar-ngejar para sahabat dalam jumlah melimpah.

2.       Para sahabat mampu meraih kenikmatan hanya berbekal sedikit air wudhu dan sehelai sajadah.

3.       Para sahabat bercita-cita secepat mungkin mati dalam keadaan syahid.

4.       Para sahabat menangis mendengar ayat-ayat Allah dibacakan.

5.       Para sahabat banyak dibicarakan orang karena prestasi mereka yang mendunia.

6.       Para sahabat berlomba menegur orang yang bersalah.

 

  1.       Kita setengah mati mengejar-ngejar harta dunia dalam jumlah sedikit.

2.       Kita setengah mati mengejar kenikmatan dengan menghabiskan uang tak sedikit untuk berwisata dan berbelanja.

3.       Kita bercita-cita hidup selama mungkin dan tak ingin mati.

4.       Kita menitikkan air mata bila mendengar nyanyian sedih dilantunkan.

5.       Kita berebut membicarakan keburukan orang lain

6.       Kita berlomba dalam melakukan banyak kesalahan.

 

 

Masih banyak perbedaan-perbedaan lain, namun yang sedikit di atas itu pun sudah cukup. Cukuplah kiranya bila kita merasa malu membayangkan para sahabat Nabi melihat kehidupan kita sekarang dari akhirat. Membayangkan hal-hal seperti itu bukanlah hal aneh. Sebab bukankah nanti di Hari Kiamat, semua orang akan bisa melihat perbuatan kita sampai ke hal-hal terkecil?

MENANGKIS LGBT SEJAK DINI: DARI KISAH AL-KHAWAT BIN JUBAIR

Ayah dan Bunda, jelang akhir zaman ini fitnah yang melanda keluarga kita telah datang gelombang demi gelombang. Salah satunya adalah kehebohan munculnya keberadaan golongan Lesbian-Gay-Bisexual-Transgender (LGBT) secara agresif dan masif. Para pendukung LGBT  menaruh eksistensi mereka di balik perisai Hak Asasi Manusia. Hak Asasi Manusia katanya? Ha, dari namanya saja sudah jelas nggak adil alias zalim. Sebab Hak selalu berimbang dengan Kewajiban. Kalau ada Hak Asasi Manusia tentu saja juga harus ada Kewajiban Asasi Manusia. Iya apa heu’euh Ayah dan Bunda?

Kasus yang melibatkan artis, pernikahan sejenis di Bali, akun Twiter yang memposting gambar tak senonoh anak-anak di bawah umur, sampai kecolongan sebuah keluarga yang menikahkan putri kesayangan mereka dengan seorang laki-laki yang baru ketahuan berjenis kelamin perempuan setelah beberapa jam akad nikah berlalu, semua membuat kita tersentak waspada. Pusing nih kepala rasanya, sebab satu ancaman belum tertangani, sudah datang lagi ancaman-ancaman baru.

Namun Ayah dan Bunda, Islam mendidik kita untuk tetap optimis. Kalau pesismis cepat pelajari lagi ajaran agama kita. Sebab Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah pegangan hidup yang sempurna. Jadi tetaplah tenang dan terus berusaha tampil sebagai pemenang. Hikmah di balik fitnah dalam hal ini adalah satu hal yang tidak terbantahkan lagi: ajaran Islam semakin penting ditanamkan sejak dini dalam benak anak-anak kita. Tak ada lagi kata-kata “Nanti”, “Ntar” dan “Tunggu”.

Nah, LGBT yang haram ini (sebab ada juga lho LGBT yang halal, yaitu: Lontong Gehu Bala-Bala Tahu), harus ditangkis di Sekolah Pertama dan utama bagi anak-anak kita, yaitu rumah. Menurut saya sih konsepnya sederhana: ajarkan pada anak laki-laki bagaimana menjadi laki-laki dan ajarkan pada anak perempuan bagaimana menjadi perempuan. Orangtua harus mampu membedakan segala hal berdasarkan gender: mulai dari hal bersifat material seperti mainan, permainan, tontonan, bacaan, dan pakaian, sampai ke hal bersifat non material seperti tanggung jawab dan cara bersikap. Bila kita mengikuti fitrah, Insya Allah tidak sulit melakukannya.

Ayah dan Bunda, satu hal yang banyak kita lupakan adalah mempersiapkan anak bahwa suatu saat mereka akan menjadi seorang ayah dan ibu juga. Ajarkan pada mereka bahwa menikah adalah kesempurnaan dalam beragama. Setiap orang boleh punya berbagai cita-cita, namun bagi seorang muslim ada satu cita-cita yang sudah pasti harus diraih bila sudah tiba saatnya: berumah tangga.

Bagaimana bila kepalang tanggung punya anak laki-laki yang kemayu atau anak perempuan yang gagah? Kali ini saya mempersilakan Ayah dan Bunda mengikuti kisah seorang sahabat Nabi bernama Al-Khawat bin Jubair. Dalam hal ini Nabi kita yang mulia: Muhammad Saw menangkis sifat kemayu Al-Khawat bin Jubair dengan segera dan tidak menunggunya menjadi penyakit yang parah. Menarik untuk menyimak metode yang dilakukan Rasulullah: tegas dan konsisten tapi tetap mengedepankan kasih sayang. Kisah ini dimuat dalam buku “Rasulullah Tersayang” terbitan Rumah Pensil Publisher. Selamat menyimak, semoga berguna…

Al-Khawat bin Jubair adalah lelaki kemayu yang senang berkumpul dengan perempuan. Walau tidak membahayakan, namun hal itu tentu kurang sesuai dengan ajaran Islam. Suatu hari Rasulullah Saw bertemu dengan Al-Khawat yang sedang duduk bersama para wanita…

Rasul bertanya, “Wahai Abu Abdillah (panggilan Al-Khawat), sedang apa engkau bersama para wanita ini?”

Dengan perasan malu, Al-Khawat menjawab, “Mereka sedang memintal tali untuk untaku yang suka kabur, ya Rasulullah…”

Namun Al-Khawat masih senang berkumpul dengan para wanita, maka ketika bertemu lagi, Rasulullah bertanya, “Hai Abu Abdillah, apakah unta yang suka kabur itu tidak pernah meninggalkanmu?”

Jelas Rasul bergurau, sebab mana ada unta yang kabur tidak pernah meninggalkan tuannya? Namun Al-Khawat mengerti, Rasul menyindirnya. Beliau bermaksud bertanya, mengapa bila untanya kabur, Al-Khawat tidak mencarinya, melainkan tetap bersama para wanita itu?

Sejak itu Al-Khawat merasa malu bertemu Rasul. Sebab Rasul selalu menanyakan hal yang sama. Pernah Rasul menungguinya shalat. Al-Khawat sengaja berlama-lama shalat. Maka Rasul pun berkata sambil tersenyum geli, “Jangan lama-lama, aku menunggumu…”

Selesai shalat, Rasul menanyakan hal yang sama, tetapi dengan sangat malu Al-Khawat pamit pulang dan tidak menjawab…

Karena selalu ditanya begitu setiap kali bertemu Rasulullah, akhirnya Al-Khawat menjawab, “Demi Allah, Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, unta itu tidak lari lagi semenjak aku masuk Islam…”

Rasulullah mendoakannya, ”Mahabesar Allah, Mahabesar Allah. Ya Allah, berilah petunjuk kepada Abu Abdillah…”

Sejak itu Al-Khawat menjadi muslim yang sangat baik…

CITA-CITA PENTING YANG TIDAK BIASA

Pemandangan di luar jendela tidak menarik perhatian Yuli. Padahal ia tidak sering naik kereta api keluar kota seperti ini. Kepala gadis kecil 10 tahun itu justru dipenuhi pertanyaan tentang masa depan. Ia menoleh, menatap wajah ayahnya yang dari tadi asyik menekuni bacaan.

“Ayah, menurut ayah siapa sih yang paling penting di dunia ini?”

Mansyur berhenti membaca, menatap wajah putri satu-satunya itu. Dengan kening berkerut karena berpikir, Mansyur menjawab, “Sepertinya kesehatan deh.”

“Ayah, aku bukan bertanya apa tapi siapa …”

“Oh iya. Hmm… Kalau begitu menurut ayah sih jawabannya adalah keluarga. Benar nggak?”

“Kalo menurut aku sih tidak benar, Ayah.”

“Lho? Gitu ya? Hmm.. oke deh. Nah, menurut kamu siapa dong yang paling penting di dunia ini?”

“Aku tidak tahu sih, makanya aku nanya sama Ayah… ”

“Wah, Ayah jadi bingung nih. Tadi Ayah sudah jawab, tapi kamu bilang bukan. Jadi …”

“Soalnya tadi kan Ayah bilang kalau jawabannya adalah keluarga. Menurut aku itu salah karena keluarga  bukan hal yang paling penting di dunia, tetapi …”

“Tetapi apa?”

“Tetapi merupakan segala-galanya.”

Mansyur tersenyum, sedikit kaget bercampur kagum, “Boleh nggak Ayah tahu kenapa menurut kamu keluarga adalah segala-galanya bagi kita?”

“Sebab menurut aku, orang yang tidak punya keluarga akan sedih dan sendirian di dunia ini.”

“Kan dia bisa punya teman?”

“Iya, tapi teman kan tidak sama dengan keluarga. Kan Ayah pasti lebih sayang aku dibanding sayang pada teman Ayah. Iya kan ?”

“Ya iyalah.”

“Jadi karena keluarga itu segala-galanya, aku sekarang sudah punya cita-cita yang nggak akan berubah-ubah lagi seperti kemarin.”

“Oh ya, apa itu?”

“Cita-citaku adalah menjadi Ibu yang baik buat anak-anakku nanti dan menjadi istri yang shalihah untuk suamiku kelak.”

“…” Mansyur jadi speakless. Baru setelah beberapa detik ia bisa berkata lagi, “Lantas bagaimana dengan segudang cita-cita kamu kemarin yang ingin menjadi dokter, arsitek, juara lomba masak dan lain-lain itu?”

“Itu kan cita-cita pendamping. Menurut aku perempuan harus siap menjadi istri dan ibu. Benar kan?”

Mansyur mendadak khawatir, jangan-jangan Yuli mulai menyerah dengan nilai-nilainya di sekolah sehingga ia mengambil jalan mudah, jalan yang sudah pasti menjadi kodrat setiap wanita. Seolah membaca pikiran itu, Yuli memegang tangan Mansyur, “Ayah nggak usah khawatir. Niali-nilaiku tetap baik. Aku tetap semangat belajar. Ibu yang pintar kan bisa mendidik anak-anaknya menjadi pintar juga. Iya kan?”

Mansyur menahan kekagetannya lagi, kali ini dengan memaksa dirinya berpikir keras, ini cita-cita yang tidak biasa bagi seorang anak. Tapi apakah salah? Hmm.. kikira tidak salah sih. Yuli hanya menyadari bahwa hal yang tidak terelakkan baginya adalah menjadi seorang istri dan ibu. Jadi mengapa tidak diniatkan sekalian untuk menjadi istri dan ibu yang baik? Pikirannya buyar saat Yuli terdengar lagi, “Jadi kenapa Ayah kemarin marah-marah sama ibu?”

“Hmm.. itu ya? Kalau itu sih begini.. hmm.. mungkin memang Ayah lagi emosi sih. He.. he.. Kenapa gitu ?”

“Ayah harus sayang sama Ibu dan banyak menahan marah dong. Ibu kan wanita yang penyayang, nah wanita yang penyayang itu adalah tiang keluarga.”

Tawa Mansyur pecah, sambil mengusap-usap kepala putrinya, ia mengucapkan janji, “Baiklah kalau begitu. Wah, di rumah kita ternyata ada satu lagi ibu-ibu nih. Ayah harus berhati-hati kalau bicara.”

Kali ini mereka berdua tertawa bersama-sama. Sampai tiba di tujuan, tidak ada lagi rasa bosan di perjalanan.

INDAHNYA MASA KANAK-KANAK

Pagi itu suasana Desa Ciherang yang damai lebih berwarna dari biasanya. Seorang laki-laki berusia 40-an datang bertamu. Penampilannya yang lusuh tidak menghalangi rasa penasaran warga desa. Maklum, meski berwajah muram, laki-laki itu jangkung, tampan dan bermobil mewah. Suasana tambah meriah ketika warga tahu bahwa laki-laki itu pernah berkunjung ke desa mereka saat masih kanak-kanak. Satu dua orang mulai mengenali dan menyapanya, “Kamu Andri kan? Ingat sama saya nggak? Saya Usep, dulu kita pernah menangkap lele di sawah…”
Andri membalas setiap sapaan dengan ramah. Setelah dua-tiga hari, suasana sudah mereda. Andri yang pendiam dan penyendiri, tidak lagi memancing perhatian warga. Mereka hanya tahu tamu jauh dari kota besar itu menginap di rumah paman jauhnya di ujung desa. Andri sendiri jarang terlihat, ia lebih suka merenung di saung di tengah sawah, memanjat bukit atau menjelajah ke hutan sekitar desa untuk memotret burung dan tupai.
Selepas Ashar para penggembala pulang menggiring kerbau. Mereka turun ke sungai untuk menggosok lumpur dari kulit kerbau sebelum melanjutkan perjalanan ke kandang masing-masing. Semua itu tak luput dari bidikan kamera Andri. Sebuah teguran ramah menghentikan ceklikan kameranya, “Sedang memancing, Dri?”
Andri menoleh dan melihat Usep yang tersenyum lebar sambil memanggul cangkul.
“Iya, dari tadi belum dapat ikan, jadi aku memotret sambil menunggu,” Andri menunjuk tongkat pancingnya yang ditancapkan ke tanah dengan beberapa batu penahan.
Khas orang desa, tanpa bertanya lagi, Usep duduk dan mengajak Andri ngobrol. Andri heran sendiri karena ia tak merasa keberatan, mungkin hatinya membutuhkan teman bicara setelah beberapa hari ini lebih banyak bersepi-sepi sambil mengunci mulut. Setelah beberapa menit, akhirnya terlontar juga sebuah pertanyaan yang mewakili rasa penasaran semua warga Ciherang, “Sebenarnya sedang apa kamu di sini, Dri? Setelah lebih dari 30 tahun tidak datang kemari, rasanya aneh bertemu kamu lagi.”
Andri menghembus napas panjang, diam sejenak, lalu menjawab, “Sedang liburan saja.”
“Kamu sudah menikah? Sudah punya anak?”
Andri mengangguk enggan.
“Kenapa keluarga kamu tidak dibawa sekalian? Sekarang kan sedang liburan sekolah.”
Ini adalah pertanyaan yang paling ingin Andri hindari, namun selama tiga hari ini suasana indah Ciherang telah meringankan hatinya. Perlahan Andri menjelaskan, “Justru karena merekalah aku kembali kesini. Aku punya anak laki-laki semata wayang. Ia ABG tampan yang digandrungi banyak teman-teman perempuannya. Istriku cantik dan mandiri, ia wanita karir yang hebat. Karena aku dan istriku sibuk meniti karir, putraku jadi terabaikan. Akhirnya ia overdosis narkoba dan meninggal beberapa bulan lalu. Istriku tak kuat menahan penyesalan, akhirnya minum racun serangga dan menyusul anakku pergi. Kamu bisa bayangkan galaunya hatiku, jadi aku pergi ke sini untuk meringankan perasaan.”
“Kenapa Desa Ciherang?”
“Karena di sinilah aku pernah merasakan kebahagiaan masa kanak-kanak. Aku berharap bisa merasakan lagi kebahagiaan itu dan menumbuhkan lagi semangat hidup.”
“Bagaimana mungkin kamu bisa merasakan lagi kebahagiaan semasa kanak-kanak sementara masa kanak-kanak itu sudah hilang dari hati kamu?”
Pertanyaan itu menohok perasaan Andri, “Kenapa kamu bilang begitu, Sep?”
“Aku memang tinggal di desa, tapi aku tahu satu hal: orang dewasa biasanya tidak lagi membawa masa kanak-kanak di dalam hatinya. Salah satu kerugian hal itu adalah kita jadi sulit memahami dunia anak-anak kita. Hal paling menyedihkan, bila kita gagal memahami anak-anak melalui dunianya adalah tanpa disadari kita akan mengharapkan anak-anak menjadi cepat dewasa. Mengapa? Sebab alam bawah sadar kita ingin agar anak bisa memahami apa yang kita sampaikan pada mereka dengan bahasa dewasa kita.”
Air mata Andri berlinang-linang, “Memang itulah yang terjadi antara aku dan anakku. Aku tak banyak ingat masa-masa kecilnya, tahu-tahu ia sudah menjadi remaja dengan segudang masalah. Aku sadar sekarang, masa kecil anakku tidak bahagia. Bagaimana itu mungkin? Padahal masa kecilku begitu bahagia, terutama di sini, bersama kamu dan teman-teman kita dulu…”
Usep berkata pelan, “Orang paling beruntung menurutku adalah orang yang pernah mengalami kebahagiaan masa kanak-kanak. Jadi aku berharap sebentar lagi kamu bisa memulai lagi hidup kamu, mempunyai anak-anak lagi dan bertekad untuk tidak pernah lagi melewatkan masa-masa indah kanak-kanak mereka.”
Saat itu istri Usep datang membawa 2 anak lucu. Salah satunya masih dalam buaian. Suasana langsung mencair.
Andri memandang Usep lekat-lekat, “Ini kan Suhaemi yang dulu kita kecengin bersama? Kamu beruntung bisa meminang dia!”
Tawa Usep terlontar, “Kami sempat kuliah bersama, aku di Pertanian dan dia di Psikologi. Lalu kami menikah dan memutuskan untuk pulang ke sini, ke tempat kami pernah merasakan indahnya masa kanak-kanak kami.”
Air mata Andri mengalir hangat, hatinya berkata, “Memang benar, tidak pernah ada kata terlambat untuk membawa lagi masa indah kanak-kanak kita di dalam hati. Ternyata inilah modal untuk menjadi ayah dan suami yang baik. Bila Allah berkenan memberiku sebuah keluarga lagi, aku tak akan melupakan apa yang kudapatkan ini…”

INILAH SAUDARA-SAUDARAKU…

Seorang laki-laki muda muncul ke panggung disambut tepukan tangan dalam sebuah acara reality talkshow di televisi. Ketampanan wajahnya sedikit terkurangi gurat-gurat beban.
“Tamu kita kali ini adalah Bramasta Dipta,” ucap Sang Presenter. “Seorang Desainer Grafis muda yang sukses membangun sebuah perusahaan konsultan grafis tingkat internasional. Namun tampaknya kesuksesan itu tidak sepenuhnya berbuah kebahagiaan. Kenapa, Bram?”
Bram memperbaiki duduknya, memandang lantai sejenak, menghela napas, lalu menatap Sang Presenter, “Karena ada lubang besar dalam kehidupan saya, Mbak.”
“Bisa diceritakan pada kami?”
“Lubang besar dalam kehidupan saya itu adalah keluarga saya.”
“Istri Anda? Yang baru saja Anda ceraikan?”
“Sebenarnya bukan itu. Saya adalah anak ke-4 dari 7 bersaudara. Kami terdiri dari 5 anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Ke-6 saudara saya itulah lubang besar dalam hidup saya kini. Sudah lama mereka menjauh dan tidak lagi mengakui saya sebagai salah satu saudara mereka.”
“Tidak lagi diakui sebagai saudara??? Boleh kami tahu apa sebabnya?”
“Setelah mendapat gelar sarjana, saya memutuskan untuk menikah dengan salah seorang rekan kuliah saya. Kami beda agama. Pacar saya itu memaksa saya untuk keluar dari Islam dan memeluk agamanya sebagai syarat agar pernikahan kami bisa dilangsungkan. Kontan seluruh kakak dan adik-adik saya menolak keinginan itu. Tapi dalam keadaan mabuk kepayang, saya memutuskan untuk pindah agama. Sejak itulah tali silaturahim kami putus.”
“Sampai sekarang?”
“Ya, sampai sekarang. Padahal saya sudah menceraikan istri saya dan kembali menjadi seorang muslim.”
“Saya yakin di sini banyak orang bertanya: mungkin Anda menyesal memiliki saudara? Bayangkan, bila Anda anak tunggal, mungkin tidak akan ada yang protes pernikahan Anda dan mungkin Anda masih bersama dengan istri Anda saat ini. Bagaimana tanggapan Anda?”
“Mbak, kalau kelak saya menikah lagi, saya justru berharap agar Tuhan menganugerahi anak saya dengan beberapa orang saudara. Setidaknya satu orang.”
“Alasannya?”
“Karena seorang saudara tidak hanya berfungsi menjadi penjaga saudaranya yang lain, tetapi justru ikut membentuk karakter saudaranya itu. Itulah fungsi terbesar seorang saudara bagi kita.”
“Tapi bisa jadi seiring dengan berlalunya waktu, tentunya perilaku seseorang bisa berubah terhadap saudaranya?”
“Bisa jadi, tapi dalam kebanyakan kasus yang terjadi adalah sebaliknya. Seperti yang saya alami sebelum peristiwa pernikahan. Bagi kami bertujuh, waktu seolah tidak berlalu. Kami masih sama seperti dulu. Kami punya lawakan-lawakan khas keluarga, kami menyimpan rahasia-rahasia keluarga, kami bahkan juga ingat pertengkaran-pertengkaran kami. Itu artinya hati kami sudah saling berbagi satu sama lain.”
“Jadi bagi Anda memiliki saudara sangat penting artinya?”
“Sangat, sebab tidak ada cinta seperti cinta kepada saudara kita.”
“Seandainya Anda boleh memilih, jenis orang seperti apa yang akan Anda pilih sebagai saudara-saudara kandung Anda?”
“Di sinilah uniknya sebuah persaudaraan dalam suatu keluarga, sebab kita tidak bisa memilih keluarga kita. Tuhanlah yang memilihkannya untuk kita.”
“Jadi Anda tidak menyesal punya keluarga yang demikian kuat memegang prinsip sampai memilih mengucilkan Anda daripada mengorbankan prinsip tersebut?”
“Saya tidak menyesal, sebab sayalah yang salah.”
“Apa Anda rindu bertemu dan diterima mereka lagi?”
“Itu segala-galanya bagi saya sekarang.”
“Kalau begitu terimalah mereka kembali….”
Saat itu juga, 6 kakak dan adik Bram muncul. Kakak sulungnya menyapa, “Assalamu’alaikum, Bram. Sebenarnya kami juga sangat rindu dan sayang padamu, Dik.”
Bram memeluk mereka semua sambil menangis. Lalu dengan bangga ia berkata pada para penonton di studio, “Para hadirin, inilah saudara-saudaraku…”

UNDERWEAR RULE (2)

“Poin Underwear Rule berikutnya adalah:
“4. Mencegah dan Melindungi Adalah Tanggung Jawab Orangtua.
“Ingat satu hal, Di: keselamatan dan kebahagiaan anak adalah tanggung jawab orangtua, bukan guru atau kerabat lainnya. Maka dari itu, orangtua harus terdidik sebelum mendidik anak. Selama komunikasi tentang seks masih berlandaskan edukasi, tentu anak akan menerimanya sesuai penalaran yang kita sampaikan kepada mereka. Jadikan komunikasi dengan terbuka sebagai tradisi dalam keluarga sehingga anak tidak pernah merasa sungkan dalam membicarakan dan membahas apa pun kepada orangtua.
“5. Mengajarkan Cara Bereaksi Terhadap Tindakan Mencurigakan
“Terdapat 4 panduan yang bisa kita ajarkan kepada si Kecil untuk bereaksi saat ada orang asing yang berperilaku tidak wajar kepada mereka. 4 panduan itu adalah:
“- Cara Mencurigai dan Melaporkan
Beritahu kepada anak mengenai siapa saja orang yang bisa mereka percaya dalam keluarga dan sekolah. Jadi, ketika ada orang lain di luar itu, anak pantas merasa curiga dan mengomunikasikannya kepada orangtua atau guru di sekolah.
“- Cara Mengenali Orang-orang Mencurigakan di Lingkungan Anak
Dalam kebanyakan kasus, pelaku adalah seseorang yang dikenal anak. Tak heran bila kondisi ini membuat anak sulit memahami bahwa apa yang dilakukan orang tersebut adalah bentuk penyiksaan. Untuk mengatasinya, orangtua tidak boleh putus komunikasi dengan anak, pastikan setiap hari bertanya kepada anak apakah ada seseorang yang memberikannya hadiah atau memperlakukannya lebih dari biasanya.
“- Cara Mengamati Orang-orang Mencurigakan di Luar Lingkungan Keluarga dan Sekolah
Dalam beberapa kasus pelecehan seksual, pelakunya adalah orang asing. Ajarkan aturan sederhana kepada anak tentang tata cara bersikap dan berbicara dengan orang asing. Beberapa di antaranya adalah menolak satu mobil dengan orang yang mereka tidak kenal, jangan menerima hadiah dari siapa pun kecuali keluarga dan teman, dan menolak ajakan bermain di luar sekolah.
“- Cara Mencari Pertolongan
Anak-anak harus tahu bahwa selain orangtua, ada orang profesional yang dapat membantu mereka bila ada orang lain yang berbuat tidak sopan kepada mereka, misalnya guru, polisi, pekerja sosial, dan psikolog sekolah.
“Nah, begitu lho, Di. Sudah jelas kan? Di? Di?”
Tak terdengar jawaban Dyah, cuma isak tangis tertahan.
“Kok nangis, Di?”
“Ak… aku merasa bersalah banget pada Maya, Put. Ternyata banyak hal yang aku lupakan dalam mendidik dia.”
“Wajar, Di. Banyak sekali kita yang belum tahu.”
“Iya, tapi kejadian itu membuatku merasa kecolongan, Put….”
Putri diam sejenak, lalu menghibur, “Insya Allah belum terlambat Di. Kalau Maya masih ketakutan, bawa saja ke tempat aku. Biar aku coba melaksanakan terapi ringan tapi menyenangkan.”
Kini rasa syukur melanda hati Dyah, menggantikan rasa takut dan penyesalan yang belum lama ini begitu mencekiknya. Di luar itu, sebuah ide pun muncul: Aku akan mengusulkan pada sekolah untuk mengadakan semacam mini seminar yang temanya tentang Underwear Rule yang baru aku tahu barusan. Mudah-mudahan Putri juga bisa membantu. Semoga peristiwa ini tidak akan pernah terulang lagi…

UNDERWEAR RULE (1)

“Ma, orang jahat itu siapa sih?” tanya Maya manja pada Dyah, ibunya.
“Orang jahat itu orang yang bermaksud nggak baik. Misalnya mereka ingin mengganggu, menyakiti atau mengejek orang lain. Memangnya ada apa, May?”
“Tadi di sekolah, Maya dipegang-pegang sama Pak Oon. Teman-teman Maya pada teriak: Ih Pak Oon jahat! Ih Pak Oon jahat!”
Berbarengan dengan bunyi DEG! Di jantungnya, Dyah cepat menyambar, “Pak Oon siapa, May?”
“Itu yang suka di kebun. Maya nggak suka soalnya tangan Pak Oon bau tanah!”
“Kamu mengadu sama Bu Guru nggak?” suara Dyah mulai melengking.
Maya menggeleng, “Nggak ah, kata Pak Oon jangan bilang Bu Guru, ini rahasia…”
Pucat pasi dan lemas, Dyah terhenyak di kursi. Tak disangkanya, sekolah TK mahal tempat Maya bersekolah bisa kecolongan mempekerjakan tukang kebun dengan penyakit psikis seperti Pak Oon. Dyah hampir yakin kalau Maya tidak berbohong. Selama ini putri sulungnya itu tak pernah berdusta. Lagi pula ada baiknya berhati-hati dan menganggap hal ini sangat serius untuk diselidiki. Aku sama sekali tidak boleh mengabaikan masalah ini dengan menganggap cerita Maya mengada-ada. Resikonya terlalu besar untuk diabaikan.
Tanpa membuang waktu, Dyah menelepon wali kelas Maya. Setelah menjelaskan bolak-balik dengan agak heboh khas ibu-ibu, Dyah mendapat janji untuk membicarakan hal ini besok pagi di sekolah. Sementara itu Maya diizinkan untuk diam dulu di rumah.
Setelah itu Dyah tak lagi sanggup mengerjakan apa pun dengan tenang. Sampai akhirnya ia teringat pada Putri. Teman akrabnya itu lulusan Fakultas Psikologi. Tanpa mengecek apakah pulsanya masih cukup untuk ngobrol lama, Dyah menekan nomor Putri dan langsung tersambung. Tak lama berbasa-basi, Dyah tembak langsung ke masalah.
“Itulah perlunya mengenalkan Underwear Rule pada anak-anak sejak balita, Di,” respon Putri kalem.
“Apaan tuh? Jelaskan dong. Semoga kamu punya waktu.”
“Oke, tapi siap-siap dengerin ya, aku mau ceramah nih.”
“Seumur-umur baru kali ini aku pengen banget dengerin kamu. Beneran!”
Putri tertawa kecil, lalu mulai ceramahnya, “Underwear Rule adalah pedoman sederhana bagi orangtua dalam membimbing anak tentang aturan-aturan berkomunikasi, berinteraksi, dan bersentuhan dengan orang lain, terutama di luar keluarga inti. Aturan ini mengajarkan sebuah prinsip dan nilai hidup yang tegas kepada anak bahwa tubuh mereka adalah milik mereka sendiri. Tidak boleh ada orang lain yang menyentuh dan menyakitinya, bahkan tidak juga orangtua dan saudara kandung.”
“Oooh begitu. Tolong teruskan, Put…”
“Oke, ada 5 poin Underwear Rule yang wajib kita ajarkan:
“1. Mengajarkan si Kecil Bahwa Tubuh Mereka Harus Dijaga dan Dilindungi.
“Jelaskan kepada anak bahwa ada beberapa anggota tubuh yang merupakan bagian intim, yang sifatnya sangat pribadi, tidak boleh dilihat dan dipegang orang lain, kecuali untuk alasan medis. Usahakan untuk tidak memberikan julukan atau istilah samaran dalam mengajarkan bagian intim tubuh si kecil. Mengajarkan soal seks kepada anak harus dilakukan lebih dari sekali dan berulang-ulang. Tujuannya agar anak langsung ingat ketika ada seseorang yang berusaha menyentuh di bagian tubuh yang tidak pantas dan segera bereaksi sesuai yang diajarkan.
“2. Ajarkan Perbedaan Sentuhan yang Pantas dan Tidak Pantas.
“Anak tidak selalu bisa membedakan bagaimana cara orang lain menyentuh mereka, apakah sentuhan tersebut wajar atau tidak. Tak hanya sentuhan, ajarkan kepada anak bahwa orang lain dilarang keras memandangi bagian tubuh mereka yang pribadi. Jika ada yang bersikap demikian, anak harus menegur atau melaporkan orang tersebut kepada guru di sekolah dan orangtua.
“3. Ajarkan Perbedaan Rahasia Baik dan Rahasia Buruk.
“Salah satu strategi yang kerap kali dilakukan oleh pelaku pelecehan seksual adalah mengajak anak untuk bermain rahasia-rahasiaan. Terkadang anak merasa bersemangat dan diistimewakan bila dipercaya menyimpan rahasia orang lain. Maka dari itu, sampaikan kepada anak bahwa tidak semua rahasia pantas disimpan, terutama rahasia yang membuat mereka tidak nyaman, ketakutan, sedih, dan tersiksa.”
Putri menarik napas sejenak, “Eh, kamu sudah bosan belum dengerin ceramah aku, Di?”
“Belum, Put. Malah lagi asyik-asyiknya nih.”
“Oke deh, kalau begitu kita lanjuuut….”