SLOW DOWN …

Slow down, Ayah dan Bunda. Mungkin kita terlalu dalam menekan gas sehingga rumah tangga kita berjalan terlalu kencang. Mungkin kita terlalu ingin cepat sampai pada tujuan padahal para penumpang kita sudah merasa tidak nyaman dan ingin beristirahat. Mungkin masih banyak target materi yang ingin kita punya sementara waktu mengalir secepat motornya Valentino Rossi. Mungkin kita terlalu bernafsu melihat anak-anak kita bisa ini dan itu sementara kita lupa bahwa pohon hanya bisa berbuah bila melewati prosesnya dengan benar. Mungkin… mungkin… mungkin… apapun itu, Ayah dan Bunda, perlahanlah sejenak. Slow down…

Ketika kecepatan berkurang, ke tepilah dan istirahat. Inilah saatnya menatap wajah pasangan dan anak-anak kita sambil tersenyum dan bilang, “Bagaimana perjalanan kita? Seru kan?”

Ayah dan Bunda, bagaimana pun harus selalu ada waktu untuk orang-orang yang kita cintai. Di saat bersama itu kita bisa berharap Allah akan mengembalikan kekuatan kita dan merefresh visi hidup kita. Ingat saja apa yang Mitch Albom bilang, “Satu hari yang kau habiskan bersama orang yang kau cintai bisa saja mengubah segalanya.”

Mungkin kita bisa merenungi beberapa bagian dari puisinya William Henry Davies:

Apalah artinya hidup, yang katanya penuh dengan kasih sayang,

Bila kita tidak punya waktu untuk berdiri dan memperhatikan?

Kita tak punya lagi waktu sekadar berdiri di tepi pagar

Dan menikmati padang rumput seperti yang dilakukan domba dan sapi-sapi.

Kita tak punya lagi waktu memperhatikan pepohonan yang kita lewati setiap hari,

Tempat dimana para tupai menyembunyikan persediaan kacang.

Kita tak punya lagi waktu memperhatikan betapa luasnya langit siang,

Atau betapa penuhnya bintang di langit malam.

Tak punya lagi waktu menoleh ke anak-anak kita,

Dan mengamati bagaimana kaki mereka sudah bisa menari.

Tidak punya lagi waktu untuk menunggu

Bagaimana senyum dan mata ketawa anak-anak mulai terbentuk di wajah mereka.

Betapa malangnya hidup ini, yang katanya penuh dengan kasih sayang,

Bila kita tidak punya waktu untuk berdiri dan memperhatikan.


Ayah dan Bunda, hari-hari bersama anak-anak dan keluarga adalah hari-hari terindah kita. Maka buat rutinitas kita slow down, lalu habiskan waktu bersama mereka. Simak saja syair lagu anak-anak berjudul “A Beautiful Day” ini…

Lihat matahari bersinar di jendela, inilah waktu untuk memulai hari yang baru…

Tidakkah kamu dengar burung bernyanyi, aku pun akan ikut bernyanyi sekerasnya dan bilang:

“Inilah hari yang indah, tempat kita berlari di bawah sinar matahari.

Hari yang indah ini baru saja dimulai.

Hari indah untuk melakukan sesuatu yang ingin kulakukan… Ahahaa…

Hari yang indah, bahkan untuk sekadar hidup.

Hari yang indah yang benar-benar membuatku bahagia.

Dan izinkan aku membaginya bersamamu…”

                Selamat menikmati hari indah bersama anak-anak dan keluarga, Ayah dan Bunda….

ORANG TUA YANG MANAKAH KITA?

Ayah dan Bunda, berikut saya sertakan sebuah tulisan yang menginspirasi. Sayang, nama pengarangnya tidak diketahui…

Ada 2 buah rumah bersebelahan. Masing-masing dihuni oleh sepasang orangtua dan anak tunggal mereka. Alkisah, kedua rumah dan penghuninya pernah mengalami hal-hal yang persis sama, namun efeknya jauh berbeda. Bagaimana bisa begitu? Inilah kisahnya…

Di Rumah Pertama, Sang Anak pulang sekolah dan berseru, “Bunda! Ayah! Aku dapat nilai 100 untuk 2 mata pelajaran di sekolah!”

Tanpa ekspresi, Sang Ayah menjawab, “Hanya 2 mata pelajaran? Kenapa bukannya 3 mata pelajaran atau lebih?”

Di Rumah Kedua, Sang Anak pulang sekolah dan berseru, “Bunda! Ayah! Aku dapat nilai 100 untuk 2 mata pelajaran di sekolah!”

Dengan sangat bahagia, Sang Ayah menjawab, “Alhamdulillah! Kamu benar-benar membuat Ayah bangga! Ayah benar-benar bahagia memiliki kamu!”

Di hari berikutnya, dari dapur Rumah Pertama, Sang Anak berseru, “Bunda, aku telah mencuci semua piring kotor bekas makan malam!”

Dengan datar dan tenang, Sang Ibu menanggapi, “Kamu sudah mengepel lantai belum?”

Sementara di Rumah Kedua terjadi hal yang sama ketika Sang Anak berseru, “Bunda, aku telah mencuci semua piring kotor bekas makan malam!”

Sang Ibu tersenyum dan berkata lembut, “Tahu tidak, semakin hari Bunda tambah sayaaang padamu….”

Esok harinya, dari halaman belakang Rumah Pertama, Sang Anak berseru, “Ayah, aku telah memotong rumput. Lalu semua sisa rumputnya telah aku bersihkan!”

Dengan wajah agak masam karena kurang puas, Ayahnya menanggapi, “Terus, kamu tidak membersihkan tanah liatnya sekalian?”

Pada saat yang sama, di Rumah Kedua Sang Anak berseru, “Ayah, aku telah memotong rumput. Lalu semua sisa rumputnya telah aku bersihkan!”

Dengan ceria Ayahnya berseru, “Nak, hari ini kamu telah membuat hati Ayah benar-benar bahagia!”

Dari tiga hari kejadian berturut-turut itu tampak jelas bahwa anak yang hidup di Rumah Kedua lebih bahagia dan percaya diri. Bagaimana bila kejadian seperti itu terjadi terus-menerus setiap hari sampai tahu-tahu para orangtua baru sadar kalau anak mereka telah menjelang dewasa? Tentu perbedaan rasa bahagia dan kepercayaan diri kedua anak di rumah yang berbeda itu semakin besar, layaknya terpisah samudera luas.

Wahai Ayah dan Bunda, setiap anak layak dihargai atas setiap tugas yang mereka kerjakan. Inilah awal mengarahkan mereka pada kehidupan yang lebih bahagia.

Masa depan anak-anak kita, Ayah dan Bunda, begitu banyak tergantung pada cara kita menghargai mereka. Orangtua yang manakah kita ini?

JIKA

Ayah dan Bunda, akhir-akhir ini mencuat kasus kekerasan seksual yang dilakukan remaja laki-laki pada kaum perempuan. Mengapa mereka melakukan hal sehina itu? Sebab dari kecil mereka memang tidak pernah dididik menjadi laki-laki sejati.

Mengapa banyak lelaki melakukan korupsi? Jawabannya sama dengan sebelumnya. Mengapa para lelaki banyak yang menjadi malas dan tidak bisa mewujudkan potensinya? Jawabannya juga sama.

Nah, Ayah dan Bunda, bila Anda dikaruniai anak laki-laki, ajarkan agar menjadi laki-laki sejati. Bagaimana gambaran seorang laki-laki sejati? Saya menemukannya dalam sajak berjudul “Jika” yang ditulis oleh Rudyard Kipling, sang penulis The Jungle Book. Sajak ini dituturkan dalam bentuk nasihat monolog dari orangtua buat anak laki-lakinya. Silakan menyimak, semoga berguna…

JIKA

Oleh Rudyard Kipling

Jika kamu dapat tetap menegakkan kepala sementara semua orang di sekelilingmu

tidak mampu melakukannya dan malah menyalahkan kamu,

jika kamu dapat tetap percaya pada dirimu sementara semua orang meragukanmu,

tetapi kamu tak mempermasalahkan keraguan mereka itu,

jika kamu dapat menunggu tanpa merasa lelah,

atau sanggup berbaring tanpa bermaksud bermalas-malas,

atau sanggup dibenci tanpa balas membenci,

dan tidak berlagak menjadi orang yang terlalu baik atau terlalu bijaksana,

jika kamu dapat bermimpi tanpa menjadikan mimpi itu tuanmu,

jika kamu dapat berpikir tanpa menjadikan pemikiranmu itu sebagai satu-satunya tujuan,

jika kamu dapat menghadapi kejayaan dan bencana
dan memperlakukan dua hal semu itu dengan perlakuan setara,

jika kamu dapat bertahan ketika mendengar hal-hal yang kau yakini

diputarbalikkan sekadar menjadi permainan,

atau ketika melihat hal-hal yang amat berarti dalam hidupmu hancur,

kamu tetap bertahan dan malah membangunnya lagi dengan segala yang kau punya,

jika suatu saat kamu mengumpulkan segala hal berharga yang kau miliki

serta mempertaruhkannya dalam sebuah kesempatan beresiko,

dan akhirnya kalah, namun kamu sanggup memulai lagi segalanya dari awal,

tanpa pernah mengeluh tentang kekalahan dan kehilanganmu itu,

jika kamu dapat memaksa hati, meski diliputi cemas dan khawatir,

untuk tetap bertahan bersamamu meski kamu telah kehilangan segalanya,

dan kamu sanggup terus bertahan ketika kamu tak punya apa-apa lagi

kecuali kemauan untuk terus berkata pada hatimu itu: ‘Bertahanlah!’

Jika kamu bisa berbicara dengan rakyat biasa tanpa kehilangan pandangan idealismu,

Atau berjalan bersama para raja tanpa kehilangan sentuhan merakyatmu,

Jika tak ada satu orang pun, baik lawan maupun kawan, dapat melukai hatimu,

Jika kamu memperlakukan semua orang yang bergantung padamu tanpa pilih kasih,

Jika kamu dapat mengisi setiap menit yang berharga

Dengan 60 detik pemikiran untuk tetap memikirkan tujuanmu,

Segala dalam dirimu sama berharga seperti bumi dan segala isinya,

Dan –dengan banyak ‘jika’ yang lain- barulah kamu menjadi seorang laki-laki, wahai Anakku!