INDAHNYA MASA KANAK-KANAK

Pagi itu suasana Desa Ciherang yang damai lebih berwarna dari biasanya. Seorang laki-laki berusia 40-an datang bertamu. Penampilannya yang lusuh tidak menghalangi rasa penasaran warga desa. Maklum, meski berwajah muram, laki-laki itu jangkung, tampan dan bermobil mewah. Suasana tambah meriah ketika warga tahu bahwa laki-laki itu pernah berkunjung ke desa mereka saat masih kanak-kanak. Satu dua orang mulai mengenali dan menyapanya, “Kamu Andri kan? Ingat sama saya nggak? Saya Usep, dulu kita pernah menangkap lele di sawah…”
Andri membalas setiap sapaan dengan ramah. Setelah dua-tiga hari, suasana sudah mereda. Andri yang pendiam dan penyendiri, tidak lagi memancing perhatian warga. Mereka hanya tahu tamu jauh dari kota besar itu menginap di rumah paman jauhnya di ujung desa. Andri sendiri jarang terlihat, ia lebih suka merenung di saung di tengah sawah, memanjat bukit atau menjelajah ke hutan sekitar desa untuk memotret burung dan tupai.
Selepas Ashar para penggembala pulang menggiring kerbau. Mereka turun ke sungai untuk menggosok lumpur dari kulit kerbau sebelum melanjutkan perjalanan ke kandang masing-masing. Semua itu tak luput dari bidikan kamera Andri. Sebuah teguran ramah menghentikan ceklikan kameranya, “Sedang memancing, Dri?”
Andri menoleh dan melihat Usep yang tersenyum lebar sambil memanggul cangkul.
“Iya, dari tadi belum dapat ikan, jadi aku memotret sambil menunggu,” Andri menunjuk tongkat pancingnya yang ditancapkan ke tanah dengan beberapa batu penahan.
Khas orang desa, tanpa bertanya lagi, Usep duduk dan mengajak Andri ngobrol. Andri heran sendiri karena ia tak merasa keberatan, mungkin hatinya membutuhkan teman bicara setelah beberapa hari ini lebih banyak bersepi-sepi sambil mengunci mulut. Setelah beberapa menit, akhirnya terlontar juga sebuah pertanyaan yang mewakili rasa penasaran semua warga Ciherang, “Sebenarnya sedang apa kamu di sini, Dri? Setelah lebih dari 30 tahun tidak datang kemari, rasanya aneh bertemu kamu lagi.”
Andri menghembus napas panjang, diam sejenak, lalu menjawab, “Sedang liburan saja.”
“Kamu sudah menikah? Sudah punya anak?”
Andri mengangguk enggan.
“Kenapa keluarga kamu tidak dibawa sekalian? Sekarang kan sedang liburan sekolah.”
Ini adalah pertanyaan yang paling ingin Andri hindari, namun selama tiga hari ini suasana indah Ciherang telah meringankan hatinya. Perlahan Andri menjelaskan, “Justru karena merekalah aku kembali kesini. Aku punya anak laki-laki semata wayang. Ia ABG tampan yang digandrungi banyak teman-teman perempuannya. Istriku cantik dan mandiri, ia wanita karir yang hebat. Karena aku dan istriku sibuk meniti karir, putraku jadi terabaikan. Akhirnya ia overdosis narkoba dan meninggal beberapa bulan lalu. Istriku tak kuat menahan penyesalan, akhirnya minum racun serangga dan menyusul anakku pergi. Kamu bisa bayangkan galaunya hatiku, jadi aku pergi ke sini untuk meringankan perasaan.”
“Kenapa Desa Ciherang?”
“Karena di sinilah aku pernah merasakan kebahagiaan masa kanak-kanak. Aku berharap bisa merasakan lagi kebahagiaan itu dan menumbuhkan lagi semangat hidup.”
“Bagaimana mungkin kamu bisa merasakan lagi kebahagiaan semasa kanak-kanak sementara masa kanak-kanak itu sudah hilang dari hati kamu?”
Pertanyaan itu menohok perasaan Andri, “Kenapa kamu bilang begitu, Sep?”
“Aku memang tinggal di desa, tapi aku tahu satu hal: orang dewasa biasanya tidak lagi membawa masa kanak-kanak di dalam hatinya. Salah satu kerugian hal itu adalah kita jadi sulit memahami dunia anak-anak kita. Hal paling menyedihkan, bila kita gagal memahami anak-anak melalui dunianya adalah tanpa disadari kita akan mengharapkan anak-anak menjadi cepat dewasa. Mengapa? Sebab alam bawah sadar kita ingin agar anak bisa memahami apa yang kita sampaikan pada mereka dengan bahasa dewasa kita.”
Air mata Andri berlinang-linang, “Memang itulah yang terjadi antara aku dan anakku. Aku tak banyak ingat masa-masa kecilnya, tahu-tahu ia sudah menjadi remaja dengan segudang masalah. Aku sadar sekarang, masa kecil anakku tidak bahagia. Bagaimana itu mungkin? Padahal masa kecilku begitu bahagia, terutama di sini, bersama kamu dan teman-teman kita dulu…”
Usep berkata pelan, “Orang paling beruntung menurutku adalah orang yang pernah mengalami kebahagiaan masa kanak-kanak. Jadi aku berharap sebentar lagi kamu bisa memulai lagi hidup kamu, mempunyai anak-anak lagi dan bertekad untuk tidak pernah lagi melewatkan masa-masa indah kanak-kanak mereka.”
Saat itu istri Usep datang membawa 2 anak lucu. Salah satunya masih dalam buaian. Suasana langsung mencair.
Andri memandang Usep lekat-lekat, “Ini kan Suhaemi yang dulu kita kecengin bersama? Kamu beruntung bisa meminang dia!”
Tawa Usep terlontar, “Kami sempat kuliah bersama, aku di Pertanian dan dia di Psikologi. Lalu kami menikah dan memutuskan untuk pulang ke sini, ke tempat kami pernah merasakan indahnya masa kanak-kanak kami.”
Air mata Andri mengalir hangat, hatinya berkata, “Memang benar, tidak pernah ada kata terlambat untuk membawa lagi masa indah kanak-kanak kita di dalam hati. Ternyata inilah modal untuk menjadi ayah dan suami yang baik. Bila Allah berkenan memberiku sebuah keluarga lagi, aku tak akan melupakan apa yang kudapatkan ini…”

INILAH SAUDARA-SAUDARAKU…

Seorang laki-laki muda muncul ke panggung disambut tepukan tangan dalam sebuah acara reality talkshow di televisi. Ketampanan wajahnya sedikit terkurangi gurat-gurat beban.
“Tamu kita kali ini adalah Bramasta Dipta,” ucap Sang Presenter. “Seorang Desainer Grafis muda yang sukses membangun sebuah perusahaan konsultan grafis tingkat internasional. Namun tampaknya kesuksesan itu tidak sepenuhnya berbuah kebahagiaan. Kenapa, Bram?”
Bram memperbaiki duduknya, memandang lantai sejenak, menghela napas, lalu menatap Sang Presenter, “Karena ada lubang besar dalam kehidupan saya, Mbak.”
“Bisa diceritakan pada kami?”
“Lubang besar dalam kehidupan saya itu adalah keluarga saya.”
“Istri Anda? Yang baru saja Anda ceraikan?”
“Sebenarnya bukan itu. Saya adalah anak ke-4 dari 7 bersaudara. Kami terdiri dari 5 anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Ke-6 saudara saya itulah lubang besar dalam hidup saya kini. Sudah lama mereka menjauh dan tidak lagi mengakui saya sebagai salah satu saudara mereka.”
“Tidak lagi diakui sebagai saudara??? Boleh kami tahu apa sebabnya?”
“Setelah mendapat gelar sarjana, saya memutuskan untuk menikah dengan salah seorang rekan kuliah saya. Kami beda agama. Pacar saya itu memaksa saya untuk keluar dari Islam dan memeluk agamanya sebagai syarat agar pernikahan kami bisa dilangsungkan. Kontan seluruh kakak dan adik-adik saya menolak keinginan itu. Tapi dalam keadaan mabuk kepayang, saya memutuskan untuk pindah agama. Sejak itulah tali silaturahim kami putus.”
“Sampai sekarang?”
“Ya, sampai sekarang. Padahal saya sudah menceraikan istri saya dan kembali menjadi seorang muslim.”
“Saya yakin di sini banyak orang bertanya: mungkin Anda menyesal memiliki saudara? Bayangkan, bila Anda anak tunggal, mungkin tidak akan ada yang protes pernikahan Anda dan mungkin Anda masih bersama dengan istri Anda saat ini. Bagaimana tanggapan Anda?”
“Mbak, kalau kelak saya menikah lagi, saya justru berharap agar Tuhan menganugerahi anak saya dengan beberapa orang saudara. Setidaknya satu orang.”
“Alasannya?”
“Karena seorang saudara tidak hanya berfungsi menjadi penjaga saudaranya yang lain, tetapi justru ikut membentuk karakter saudaranya itu. Itulah fungsi terbesar seorang saudara bagi kita.”
“Tapi bisa jadi seiring dengan berlalunya waktu, tentunya perilaku seseorang bisa berubah terhadap saudaranya?”
“Bisa jadi, tapi dalam kebanyakan kasus yang terjadi adalah sebaliknya. Seperti yang saya alami sebelum peristiwa pernikahan. Bagi kami bertujuh, waktu seolah tidak berlalu. Kami masih sama seperti dulu. Kami punya lawakan-lawakan khas keluarga, kami menyimpan rahasia-rahasia keluarga, kami bahkan juga ingat pertengkaran-pertengkaran kami. Itu artinya hati kami sudah saling berbagi satu sama lain.”
“Jadi bagi Anda memiliki saudara sangat penting artinya?”
“Sangat, sebab tidak ada cinta seperti cinta kepada saudara kita.”
“Seandainya Anda boleh memilih, jenis orang seperti apa yang akan Anda pilih sebagai saudara-saudara kandung Anda?”
“Di sinilah uniknya sebuah persaudaraan dalam suatu keluarga, sebab kita tidak bisa memilih keluarga kita. Tuhanlah yang memilihkannya untuk kita.”
“Jadi Anda tidak menyesal punya keluarga yang demikian kuat memegang prinsip sampai memilih mengucilkan Anda daripada mengorbankan prinsip tersebut?”
“Saya tidak menyesal, sebab sayalah yang salah.”
“Apa Anda rindu bertemu dan diterima mereka lagi?”
“Itu segala-galanya bagi saya sekarang.”
“Kalau begitu terimalah mereka kembali….”
Saat itu juga, 6 kakak dan adik Bram muncul. Kakak sulungnya menyapa, “Assalamu’alaikum, Bram. Sebenarnya kami juga sangat rindu dan sayang padamu, Dik.”
Bram memeluk mereka semua sambil menangis. Lalu dengan bangga ia berkata pada para penonton di studio, “Para hadirin, inilah saudara-saudaraku…”