Ayah dan Bunda, banyak dari kita tidak sadar bahwa pada 23 April yang baru lalu adalah hari yang tidak biasa. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sejak tahun 1995 telah menetapkan tanggal 23 April sebagai World Book Day, Hari Buku Dunia. Hari spesial ini diadakan guna mengingatkan kita akan pentingnya kegiatan membaca, pentingnya menerbitkan buku dan pentingnya menghargai karya tulis sebagai hak cipta (copyright).
Sayangnya Ayah dan Bunda, di negara kita gaung hari istimewa itu benar-benar tak terdengar. Padahal buku dan membaca adalah dasar peradaban. Tak ada peradaban besar yang bakal tumbuh bila tidak menyertakan kedua hal tersebut. Bukankah ayat pertama yang turun dari Al-Qur’an pun menyuruh agar kita membaca?
Sudah kita semua pahami Ayah dan Bunda, bahwa anak-anak kita tumbuh sebagai Digital Native Generation, generasi yang sudah sangat akrab dengan dunia digital. Diakui atau tidak, gawai digital telah menyita perhatian anak-anak dari benda kuno dan tua bernama BUKU. Bila televisi ibarat gelombang laut yang menghanyutkan anak-anak dari kebiasaan membaca, gawai digital membuat gelombang itu menjadi tsunami. Berapa banyak lagi yang bisa hidup bila sekelompok turis di pantai dihanyutkan tsunami? Berapa banyak lagi anak yang gemar membaca bila tsunami televisi dan gawai digital telah melanda mereka?
Seorang bijak pernah berkata: TV. Jika anak-anak sudah demikian terhibur oleh 2 huruf itu, bayangkan betapa bahagianya mereka bila memiliki 26 huruf secara lengkap. Bukalah imajinasi anak-anakmu. Bukalah sebuah buku.
Bener banget Ayah dan Bunda, imajinasi adalah salah satu kelebihan buku dibanding televisi dan gawai elektronik. Ketika membaca sebuah buku, anak-anak akan mengerahkan kemampuan otaknya untuk membayangkan, mengimajinasikan dan melakukan reka-ulang adegan dari cerita. Hal itu benar-benar melatih otak untuk kelak dapat melahirkan banyak imajinasi kreatif. Bahkan bila buku tersebut disertai banyak gambar dan berwarna, mereka masih bisa mengimajinasikan gerakan dan suara di dalam benak. Berbeda dengan televisi dan gawai digital dimana anak-anak menjadi penonton pasif karena gerakan, suara dan bentuk para tokoh cerita telah dihadirkan secara lengkap.
Ayah dan Bunda, Charles W. Eliot pernah menulis: Buku-buku adalah teman yang paling tenang dan setia. Sebab mereka mudah dimintakan nasihat dan merupakan penasihat yang paling bijak. Buku-buku juga merupakan guru yang paling sabar.
Jadi buku-buku sebenarnya bukan sekadar benda mati biasa, mereka bisa hidup dalam benak pembacanya. Saya sungguh berharap dan berdoa agar budaya membaca yang belum pernah tumbuh di negara ini sebelum datangnya tsunami digital, masih bisa tumbuh di tengah gelombang dahsyat tersebut. Tanpa kesertaan buku dan kecintaan membaca, kita akan menjadi buih, sementara orang-orang lain menjadi ombaknya.
Ayah dan Bunda, bila Anda bingung tentang bagaimana mengubah nasib anak-anak kita menjadi lebih baik, mulailah dengan menanamkan rasa cinta buku dalam benak mereka. Maka Anda akan lihat mereka akan tumbuh menjadi manusia berkarakter yang tak mudah diombang-ambing gelombang zaman.
Mari kembali ke buku dan membaca, Ayah dan Bunda. Kurangi jajan makanan dan belilah buku. Potong anggaran untuk pakaian baru, tambahkan pada dana untuk membeli buku baru. Jangan pernah tenang sebelum kita dan anak-anak telah menjadikan buku sebagai bagian dari kehidupan. Ingatlah kata-kata Joseph Brodsky ini: Ada beberapa kejahatan yang lebih buruk dari membakar buku. Salah satunya adalah dengan tidak membacanya.
by.Eka Wardhana