INILAH INTEGRITAS, ANAKKU…

CIIIT! Bunyi rem mendecit. Lalu terdengar bunyi yang menjadi konsekuensi logis kelanjutannya: BRAAAK!
Tubuh Rian sampai terdorong ke depan. Ucapan refleksnya seketika terucap, “Astaghfirullah…!”
Ia turun dari mobil dan mendapati bemper belakangnya ringsek terhantam keras sebuah sepeda motor. Dilihatnya si pengendara motor berusaha membangunkan motornya yang ringsek parah di pelek roda. Dalam hati Rian tahu bahwa ia adalah korban. Mobilnya telah berhenti tanpa gerakan mendadak beberapa detik sebelum dihantam. Jelas pengendara motor itu tidak mampu mengantisipasi keadaan di depan dan mengerem terlalu dekat.
“Bapak tidak apa-apa?” tanya Rian pada pengendara motor yang jelas-jelas umurnya lebih tua belasan tahun dibanding dirinya yang baru berusia 22 tahun. Namun sapaan bersahabatnya tidak bersambut baik, semburan caci-maki keluar dari mulut si Bapak. Ia memang tidak terlihat luka, hanya lutut celana dan bagian tangan jaketnya yang robek, namun keadaan sepeda motornya membuat ia seperti kehilangan akal.
Rian menahan kepalan tangannya sekeras ia menahan emosi yang mengembang dengan cepat hingga hampir meletus. Setelah emosinya terkendali, Rian bertanya biasa, walaupun di luar kemauannya, nadanya sedikit mulai meninggi, “Lho, bukannya Bapak yang menabrak saya? Kenapa jadi Bapak yang marah begini? Bapak lihat kan, mobil saya juga tidak kalah parah rusaknya?”
Pertanyaan itu justru dijawab dengan semburan makian yang kali ini disertai tatapan garang dan sikap yang lebih agresif: si Bapak maju ke arahnya dengan tangan terkepal. Rian menahan kepalan tangannya tetap di samping paha, tidak mengangkat keduanya di depan dada dan muka seperti yang diajarkan sebagai pose standar bertarung dalam Thifan, ilmu bela diri yang telah dipelajarinya sejak berusia 10 tahun. Ia hanya menatap tajam ke kedua mata lawannya, begitu tajam seolah menembus tengkorak belakang kepala. Tatapan ini berhasil menghentikan langkah lawannya. Berdasarkan pengalaman bertahun-tahun, Rian dapat menduga kemampuan lawannya. Ia yakin hanya diperlukan satu gerakan mengelak atau menangkis yang disusul beberapa jurus serangan cepat beruntun untuk melumpuhkan lawannya dalam kekerasan.
Namun agar semua jurusnya efektif, ia harus berada dalam keadaan tenang. Sedikit saja emosinya meletup, keseimbangannya terganggu dan semua gerakannya akan berada di luar kontrol. Dalam hati ia amat bersyukur dan berterima kasih pada ayahnya. Ayahnya itulah yang dahulu gigih mendorongnya berlatih Thifan. Bahkan ayahnya sampai ikut berlatih bersama, padahal saat itu usianya sudah mendekati akhir 30-an.
Sejauh yang Rian ingat, sejak kecil ia memang agak temperamental. Sedikit saja orang bicara atau bersikap salah, ia akan merasa tersinggung. Sialnya, ia tidak dikaruniai tekad dan tubuh yang kuat. Setiap tersinggung, yang ia bisa hanya bisa menahan air matanya yang terasa panas. Sekalipun ia kadang balas memaki, namun bila diserang balik, ia hanya bisa diam dengan mata memerah. Walaupun termasuk tinggi untuk anak seusianya, namun tubuhnya terlalu kurus untuk diajak berkonfrontasi. Ketika sang ayah mengajaknya berlatih Thifan, hati anak-anaknya sempat berharap sebentar lagi ia akan menjadi jagoan yang bisa mengalahkan siapapun yang menyinggungnya. Namun latihan bela diri ternyata sangat berat. Latihan sepulang sekolah sungguh merupakan siksaan melelahkan. Setelah beberapa bulan berlatih, ia sempat mogok. Ayahnya datang mengajaknya bicara, “Rian, menurut kamu penting nggak sih anak laki-laki berlatih bela diri?”
Rian hanya bisa diam. Ia tidak punya argumen untuk membantah, jadi sikap diamnya berarti jawaban: “Ya”.
“Kalau penting, berarti kita harus melakukannya,” lanjut sang Ayah. “Kamu lihat, bagi ayah yang sudah berusia segini, latihan bela diri terasa sangat berat juga. Namun ayah masih mau melakukannya. Kamu tahu kenapa?”
Diam lagi.
“Karena laki-laki harus punya integritas, Nak,” lanjut Ayah. “Integritas itu artinya kamu melakukan apa yang harus kamu lakukan. Baik itu terasa ringan atau berat. Baik itu disaksikan orang maupun tak ada orang yang menyaksikan.”
Ajaran tentang integritas ini tertanam dalam benak Rian sampai sekarang. Setiap kali ia enggan, ia ingat ini. Akhirnya latihan Thifannya berlanjut, kursus bahasa Inggrisnya berlanjut, dan hal-hal lain yang tadinya terasa berat pun berlanjut. Thifan membuatnya bisa mengendalikan diri setiap emosinya hampir meletus. Kemampuan itu membuatnya sering merasa lebih bijak dibanding orang-orang yang jauh lebih tua. Seperti kejadian hari ini.
Berkat ketenangan Rian, masalah pun selesai. Si Bapak pengendara motor yang tidak mau mengakui kesalahannya pun bisa dibuat tenang setelah Rian setuju ikut membayar sebagian ganti rugi. Rian tahu mobilnya akan bisa mulus kembali berkat asuransi all-risknya. Lalu sambil mengendara pulang, Rian ingat kata-kata ayahnya, “Ayah akan merasa berhasil sebagai seorang ayah, bila anak-anak Ayah teringat pada Ayah saat mereka sedang memikirkan sebuah hal berguna.”
“Ayah adalah ayah yang berhasil, sikapku yang tenang pada hari ini adalah buktinya,” bisik Rian, mengenang ayahnya yang sudah meninggal 2 tahun lalu. “Aku memilih untuk mengalah di saat aku bisa menang, aku memilih untuk tenang di saat nafsu berteriak memintaku untuk mengamuk. Tanpa berlatih dengan baik, aku pasti tak punya semua itu. Bila dulu Ayah tak mendorongku, hari ini aku yang tanpa ketenangan dan kemampuan, mungkin sudah habis dipukuli, padahal aku tidak bersalah.  Semua itu terelakkan karena aku telah mampu menjadi orang yang berintegritas seperti yang dulu Ayah ajarkan. Terima kasih, Ayah…”

 

Eka Wardhana- Penulis