PELAJARAN DARI KUNTUM KRISAN

oleh: Eka Wardhana (Rumah Pensil)
 
Gambar
“TIDUR SEKARANG JUGA!” bentakan itu begitu keras sampai membuat jangkrik berhenti mengerik. Padahal malam mulai sunyi seperti biasanya.
 
Teriakan itu berasal dari seorang ibu sedetik setelah melihat pot bunga kesayangannya pecah berantakan. Kuntum-kuntum bunga Krisan kuning berhamburan di lantai. Tanah bercampur pasir, pupuk dan pecahan batu merah ikut mengotori tepian karpet. Di tengah kekacauan kecil itu berdiri seorang anak perempuan berusia 8 tahun. Tubuh kurusnya gemetar karena takut bercampur kaget. Kue tar di tangannya berhenti setengah perjalanan menuju mulut. Dari bibirnya yang masih setengah mengunyah, keluar ucapan tak jelas, “Ma… af, Bunda…”
 
Sambil menepuk keras pahanya sendiri, Ibu mengulangi perintahnya, “Masuk kamar kamu, sekarang!”
Anak Perempuan itu beranjak pergi. Rasa terkejutnya karena memecahkan pot dengan tidak sengaja ditambah bentakan keras mendadak, tak membuatnya terdengar terisak-isak. Namun jelas matanya berkaca-kaca. Setengah menyesal karena bereaksi terlalu keras, Ibu duduk menghempas di kursi dapur. Tangannya yang masih basah karena sedang mencuci piring, memijit-mijit dahinya sendiri.
 
“Ya Tuhan, ada apa dengan putri keduaku itu?” desisnya perlahan. “Dibanding kakaknya dia jauh berbeda. Seperti siput dengan kucing. Dia begitu lambat dalam segala hal. Di usia segitu belum tampak kalau dia bisa menghapal huruf-huruf. Padahal sebagian besar teman di kelasnya sudah bisa membaca sendiri cerita-cerita pendek. Dia juga sulit memahami perintah dan aturan-aturan sederhana. Sampai berbusa mulutku berulang-ulang menyuruhnya menaruh sendal di rak sepatu. Sampai berbuih bibirku memintanya menyimpan piring bekas makan di wastafel cuci. Belum lagi soal pelajaran berhitung… belum lagi soal kerapihan…”
 
Sambil mendesah, Ibu berlutut dan mulai membereskan kekacauan di lantai.
“Padahal sore ini kami baru saja merayakan hari lahirku,” keluhnya. Kue di mulut sang putri tadi rupanya merupakan potongan pertama kue ulang tahun.
 
“Krisanku yang malang,” ujarnya lagi setengah berbisik. Terbayang semua usaha untuk memelihara kuntum-kuntum bunga itu. Betapa ia harus menyiapkan pot bunga yang bersih dan sesuai. Setelah itu di dasar pot harus diletakkan beberapa pecahan batu merah untuk mengikat air. Diisinya pot dengan kombinasi yang tepat antara pasir, tanah dan pupuk. Sudah begitu ia harus dengan hati-hati meletakkan bunga-bunga Krisan ke dalamnya. Dengan seksama diupayakannya agar tanah asal di akar bunga tetap terbawa supaya krisan-krisan itu tak stress saat beradaptasi dengan media tanah yang baru. Belum lagi dia harus menjaga agar batang-batang Krisan tidak tertekan sampai gepeng. Agar tumbuh dengan baik, batang-batang bunga itu harus utuh dan harus dipotong miring dengan hati-hati.
Gambar
“Malangnya kamu,” ucapnya sambil mencium bunga kuning itu. Ia ingat mengajak kedua putrinya saat memilih bunga Krisan untuk dibawa pulang. Saat itu, ketika melihat dirinya mencium bunga Krisan, Putri Keduanya berkata dengan mata menggoda, “Kalau Bunda mencium bunga itu, cium aku juga dong…”
 
Kesadaran menyedihkan membanjiri pikiran Ibu, lebih pedih rasanya dari sengatan listrik, “Seharusnya putriku itu yang kucium bukan bunga ini!”
 
Sebagai penggemar tanaman ia pernah membaca tulisan Hal Borland, “Memahami pepohonan membuatku mengerti arti dari kesabaran…”
 
Ibu bergegas ke kamar putrinya di lantai dua. Sesaat sebelum masuk, ia mendengar putri keduanya berkata pada boneka beruang kesayangannya, “Bino, ini hari ulang tahun Bunda. Saat Bunda meniup lilin tadi, aku diam-diam berdoa agar Bunda menjadi orang yang lebih sabar sama aku. Soalnya aku sering bingung kalau Bunda bilang harus begini dan begitu…”
 
Ingatan Ibu melayang pada buku yang dibacanya semalam. Fulton J. Sheen, sang pengarang, menulis, “Kesabaran adalah kekuatan. Kesabaran bukanlah tidak adanya tindakan, tetapi lebih menunggu tibanya saat yang tepat untuk melakukan sesuatu…”
 
Dengan mata berkaca-kaca, pikiran Ibu berkata, “Ya, saat ini yang harus kulakukan adalah bersabar. Putriku ibarat bunga Krisan indah yang harus dirawat dan ditumbuhkan dengan benar, tidak terburu-buru dan harus penuh kesabaran. Hanya kesabaran yang akan membuat putriku akhirnya menemukan potensi dirinya yang kini masih tersembunyi…”
 
Ibu masuk dan memeluk putrinya erat-erat. Walau tanpa ada kata-kata, pelukan itu seolah berkata, Tak ada lagi yang perlu kau khawatirkan dari Ibu, sekarang ibu punya selaut perhatian dan waktu untukmu. Percaya atau tidak, sang Putri pun mengerti maksud ibunya.
 

Tinggalkan komentar